Tidak semua mahasiswa baru antusias dengan kuliah hari pertama. Haira adalah salah satu dari segelintir orang yang merasa biasa saja. Bayangan tentang kuliah dan jurusan yang ia pilih benar-benar nihil. Sembarang, ia menjerumuskan diri ke Fakultas Ilmu Komunikasi hanya untuk menolak permintaan orang tuanya.
Haira berkutat dengan novel Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis, Paulo Coelho, setelah melesakkan bokong ke salah satu kursi deretan depan di kelas. Ia duduk sendiri. Sementara keramaian ada di belakangnya. Kisah fiksi menjadi temannya.
Dosen datang, sebelum ia sempat membaca banyak. Suasana kelas yang semula berisik berangsur tenang. Jam bertali kulit hitam di tangan kirinya menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh menit. Ia menutup novel dan mulai memperhatikan dosen.
"Selamat pagi. Nama saya Herman Sulaksana, panggil saya Kang Herman," kata laki-laki bertubuh besar itu.
Ia muda seperti masih awal tiga puluh tahun. Kepalanya botak. Badannya gendut pendek bak ayam katai. Celana denim belel dan kemeja kotak-kotak lengan panjang tergulung serampangan membalut tubuhnya. Sepatu cokelat pudar membungkus kakinya. Sebagai pengajar, penampilannya cenderung asal-asalan.
"Saya melihat wajah-wajah anyar di sini. Untuk mahasiswa baru, angkat tangan!" Perintah dosen Dasar-Dasar Ilmu Jurnalistik itu di depan kelas.
Sebagian besar mahasiswa mengacung, termasuk Haira.
"Banyak sekali." Kang Herman mengangguk-angguk.
Situasi kelas yang tentram mendadak pecah gara-gara tiga mahasiswa berbaris masuk sambil cekikikan. Haira memperhatikan mereka sembari tetap mengacung. Matanya bertumbuk pada tatapan laki-laki terdepan berambut panjang sebahu.
"Cukup!" Kang Herman memerintahkan untuk menurunkan tangan. Aba-aba tersebut sekaligus menjadi pelerai adu tatap di antara laki-laki gondrong itu dan Haira.
"Apa alasan kalian memilih Jurusan Jurnalistik?" Kang Herman bertanya sambil maju beberapa langkah.
Keadaan kelas menjadi gaduh. Tidak lama kemudian, seorang mahasiswi berseru lantang, "Karena saya suka menulis, Kang."
Ucapan nyaringnya mampu menembus suara riuh rendah dan membungkam mulut semua orang di kelas. Dari cara bicaranya, ia seperti orang dewasa yang tahu tujuan hidup. Haira merasa terintimidasi.
"Ada lagi yang mau menambahkan?" Kang Herman belum puas dengan jawaban pertama.
Karena semua tetap hening, Kang Herman bicara lagi, "Orang yang tidak bisa menjawab pertanyaan mendasar ibarat domba yang tidak tahu arah dan mudah tersesat. Saya berharap, kalian tidak sedang tersasar di kelas ini."
Isi kepalanya ternyata jauh lebih baik, daripada penampilannya. Haira tersindir oleh ucapan Kang Herman.
"Sedikit gambaran, wartawan itu mesti sanggup bekerja setiap detik untuk menyajikan informasi bermanfaat bagi masyarakat," kata Kang Herman.
"Tapi banyak orang meramal media cetak akan mati, Kang," seorang mahasiswa menyela.
"Media online memang mulai mengungguli media cetak. Breaking news tidak lagi didapatkan dari koran, padahal sejak puluhan tahun lalu, itu yang menarik pembaca untuk membeli surat kabar," Kang Herman menerangkan.
Mahasiswa itu bersuara lagi. Rasa penasaran yang besar mendobrak rahangnya, "Lalu apa solusinya, Kang?"
"World Association of Newspapers and New Publishers memberikan sepuluh saran berdasarkan hasil riset." Lalu, Kang Herman menuliskannya di papan. Haira mencatat semua di buku. Selain mempertajam ingatan, ia percaya menulis menggunakan pena memperkuat kemampuannya dalam memahami materi kuliah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluk
Teen FictionSetiap manusia pernah jatuh ke titik terendah hidup, waktu yang membedakannya. Haira mengalami itu semasa kuliah. Perpisahan, perjodohan, dan label anak durhaka dari orang tua membuat ia ingin menyudahi hidup. Satu hal yang membuat ia bertahan adala...