Angin pagi berhembus kencang dan menerbangkan daun-daun kering ke segala arah. Haira melihat pemandangan itu dari jendela kelas. Di dalam selembar daun kering yang hampir gugur, ia seperti memandang sebagian dirinya. Kecil dan rapuh.
Bila embusan angin pagi yang dingin menyentuh tubuh, aku terpaksa terhempas menuju tempat yang asing. Lantas, tubuhku yang ringkih akan hancur sedikit demi sedikit tersiram sinar matahari dan air hujan.
Seakan-akan takdirku bukan tumbuh berdampingan dengan ranting yang memberiku kehidupan. Seakan-akan takdirku bukan tumbuh berdampingan dengan kamu. Aku seperti harus terus-menerus hidup bersama angin yang membuatku menggigil, bersama kekasih yang tidak lagi aku cinta.
Apakah jalan hidupku harus begini, harus bergantung pada tiupan angin dan terpisah dari kamu? Apakah aku tidak boleh menentang garis hidup?
Suara dering ponsel yang cukup nyaring membuyarkan pertanyaan-pertanyaan yang semrawut di kepala Haira. Ia segera mengambil telepon genggam dari tas. Ada pesan dari Rudolf.
Haira, kamu sudah sampai di kampus?
Itu adalah pesan pertama yang ia terima hari ini. Sebelum sempat membalas, Gama duduk di sisinya. Haira terkejut. Sama seperti hari-hari kemarin, kehadiran Gama benar-benar membuat jantung Haira berdebar lebih cepat. Sesak. Haira tidak tahu mengapa ia kewalahan mengendalikannya.
"Haira," Gama memanggil sambil membuka ranselnya yang diletakkannya di meja.
"Kita enggak sekelas, kan?"
"Kenapa kamu bengong? Kamu lagi ada masalah?" Gama bertanya.
Haira menjawab sekenanya, "Aku baik-baik saja."
"Bohong."
Tiba-tiba, telepon genggam yang diam di atas meja bersuara lagi. Kali ini, nada deringnya berbeda. Haira meraih ponsel. Ia menemukan sebuah nama di layar bercahaya itu.
"Telepon dari siapa?" Gama mengintip.
Haira mengelak.
Gama pun menyambar ponsel itu sampai dapat. "Rudolf itu pacar kamu? Kenapa teleponnya enggak diangkat?"
"Kamu enggak sopan, merebut barang orang lain sesuka hati," Haira meraih kembali telepon genggamnya dan mengabaikan panggilan yang masuk.
"Kenapa enggak diangkat?" Gama bertanya lagi.
"Enggak apa-apa," Haira menjawab sembari mengawasi sekitar untuk memastikan tidak ada orang lain yang memergoki mereka.
"Kenapa enggak apa-apa?"
"Bukan urusan kamu," Haira bicara dengan nada sedikit lebih tinggi.
"Ini juga menjadi urusan aku, karena aku yang duduk di sebelah kamu saat ini," Gama berkata serius. Situasi berubah menjadi tegang.
"Aku enggak minta kamu duduk di situ."
"Aku melihat kamu bengong tadi. Karena itu, aku duduk di sini. Sikap kamu juga semakin ganjil, jadi aku kepingin tahu, apakah semua ini ada hubungannya dengan aku?"
"Jangan kepedean."
"Aku bisa membedakan raut wajah orang jujur atau bohong. Lagi pula, kamu enggak berani menatap mataku selama bicara. Kamu pasti menyembunyikan sesuatu dariku."
"Kalaupun ada, lalu kenapa? Apa pentingnya buat kamu?"
"Kenapa kamu sama dia enggak putus saja?"
Haira ternganga mendengar ucapan Gama.
Laki-laki gondrong itu berkata lagi, "Aku tahu, kamu menyukaiku sejak makrab."
"Kamu sok tahu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluk
Teen FictionSetiap manusia pernah jatuh ke titik terendah hidup, waktu yang membedakannya. Haira mengalami itu semasa kuliah. Perpisahan, perjodohan, dan label anak durhaka dari orang tua membuat ia ingin menyudahi hidup. Satu hal yang membuat ia bertahan adala...