Haira bisa mengenali sosok itu dari kejauhan. Tubuh yang tidak terlalu tinggi, tapi proporsional. Rambut bergelombang yang dibiarkan terurai melewati bahu. Orang di hadapannya itu mengenakan t-shirt hitam yang bagian depannya bergambar kepalan tangan kiri yang dilayangkan ke atas. Itu bukan sekadar gambar kepalan tangan yang meninju angin, melainkan seperti kepalan tangan seorang demonstran yang berteriak "lawan". Pakaian itu identik pada satu orang. Gama.
Setelah Haira menghindar beberapa bulan demi Rudolf, ujung-ujungnya ia dipertemukan kembali dengan Gama di meja bundar. Haira terpaksa berhenti, karena Gama telanjur menyapanya.
"Hai, Haira," pembawaan Gama sangat santai, sesantai tangannya yang hanya menjinjing map mika transparan berisi kertas-kertas, dan satu buku.
Detak jantung Haira berdebar lebih cepat, saat Gama menyebut namanya.
"Kamu terlambat kuliah sesi pertama?" Haira berusaha bersikap biasa saja.
"Kamu kok tahu?"
"Tumben kamu enggak mengelak dari tuduhan."
"Kali ini kamu yang benar. Tapi emang kelihatan banget kalau aku telat, ya?"
"Banget. Rambut kamu masih agak basah. Badan kamu masih bau sabun," ucap Haira sambil mengendus tubuh Gama. "Kamu pasti bangun kesiangan, buru-buru mandi, terus langsung berangkat ke kampus."
"Kamu perhatian banget sama aku."
Haira salah tingkah, "Aku ke kantin dulu, ya."
"Tunggu. Jarang-jarang aku ketemu kamu di kampus. Kamu ke mana aja sih? Kita sekelas, kan, tapi kamu kayak menghilang gitu."
"Mungkin karena aku lebih suka duduk sendirian di pojok paling depan, jadi enggak terlihat dari tempat kamu. Aku juga seperlunya aja di kampus. Selesai kuliah, aku pulang, atau kadang ke perpustakaan. Aku enggak suka nongkrong-nongkrong."
"Kalau menemani aku makan siang, kamu suka?"
Spontan, Haira menggeleng.
"Baru jam sepuluh, tapi aku sudah lapar. Aku enggak sempat sarapan di rumah."
Haira terus menggeleng.
"Kenapa enggak mau?"
"Aku masih ada kelas nanti."
"Sesekali bolos enggak dosa kok."
"Aku takut enggak ngerti mata kuliahnya nanti," Haira masih berusaha menghindar.
"Kamu bisa bertanya sama aku."
"Enggak mau."
"Memangnya kamu enggak kepingin tahu rasanya bolos kuliah?"
Haira menggeleng lagi.
"Lebih baik keliru ketika muda, daripada nanti pas sudah tua. Lagipula kampus itu tempatnya melakukan kesalahan. Setelah tahu mana yang salah, kamu bisa mengerti apa yang benar," Gama berusaha menghasut Haira.
Haira diam.
"Kamu enggak bisa mengelak lagi, kan?" Dengan cepat, Gama kemudian menarik ujung tali tas serut merah marun yang digendong Haira.
Haira, yang selalu pandai menahan diri dan kerap menghitung-hitung tindakan apa yang menguntungkan dan merugikan, mendadak bodoh. Ia membiarkan dirinya terseret. Ketika tiba di depan mobil sedan hitam, Haira pun membuka pintu dan duduk. Entah mengapa ia melakukan kesalahan fatal itu atau ia mungkin sedang berada di bawah pengaruh sihir.
"Kita makan di kafe favorit aku."
"Di mana?"
"Sekitar satu jam dari sini. Kalau kamu lelah, tidur saja," kata Gama.

KAMU SEDANG MEMBACA
Peluk
Novela JuvenilSetiap manusia pernah jatuh ke titik terendah hidup, waktu yang membedakannya. Haira mengalami itu semasa kuliah. Perpisahan, perjodohan, dan label anak durhaka dari orang tua membuat ia ingin menyudahi hidup. Satu hal yang membuat ia bertahan adala...