Mungkin ini yang kelima belas? Atau yang keenam belas? Atau justru yang ketujuh belas? Haira lupa berapa kali mereka pernah sedekat itu. Mungkin hanya setengah jengkal jarak antara tubuh Haira dan Gama. Mereka begitu dekat. Bahkan, Haira bisa memeluk Gama kapan saja. Namun tidak untuk malam ini.
Gama memang pandai bersiasat, mengulur waktu hingga larut malam, lalu mengantar Haira pulang. Namun, Haira merasakan kejanggalan.
Mengapa dia ingin mengantarku pulang? Bukankah dia tak pernah ingin melakukannya, karena rumahku terlalu jauh?
Haira berbisik di dalam hati, Haira memang tidak pernah ingin diantar. Ia cukup tahu diri dan malas memohon, karena ia tahu hati Gama terlalu beku dan sulit peka. Bahkan, kemarin, setelah mereka mengirim proposal pameran foto ke beberapa donatur, Gama tetap membiarkan Haira pulang sendiri jam sepuluh malam.
Lalu apa yang berbeda dengan malam ini? Apakah dia khawatir? Atau masih merindukan aku? Atau mungkin ada hal sangat penting yang ingin dia sampaikan?
Perkiraan Haira yang terakhirlah yang tepat. Ada yang ingin ditanyakan tentang foto itu.
"Haira, kamu mengantuk? Kalau mengantuk, tidur saja di pundak aku, peluk aku," kata Gama sambil mengendarai motor.
"Enggak, aku belum mengantuk," sahut Haira.
"Tapi kenapa diam? Bicara dong. Kita mengobrol."
"Mengobrol tentang apa?"
"Aku mau tanya, apa masih ada yang mengganjal tentang Veron?"
Veron. Haira mendengar nama itu lagi. Hatinya semakin terasa ngilu. Bagi Haira, Veron adalah seorang pencuri. Suatu hari, Haira pernah melihatnya dari kejauhan. Tubuh yang kecil dengan lekukan pinggul yang tampak jelas. Tingginya hampir sama dengan tinggi badan Haira. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, menambah volume pada wajah mungilnya.
Mata Haira berusaha menyusuri setiap bagian tubuhnya. Seimbang. Tidak ada yang kurang, tidak lebih pula. Sampai pada tujuannya, mata mereka bertemu. Veron tersenyum. Di mata Haira, senyum itu serasi sekali dengan wajahnya. Cantik. Veron adalah kesempurnaan yang mencuri kepunyaan Haira. Veron mencuri Gama. Veron membuat Haira semakin miskin. Setiap detik, menit, dan jam dari Gama yang seharusnya masuk ke dalam tabungan waktu Haira, ternyata harus berpindah tangan untuk Veron.
Sementara Gama selalu ada di pihak pencuri itu. Bagi Gama, kedekatan mereka adalah wajar. Terlebih tentang foto mereka yang berdiri berdampingan di Kota Tua. Haira tidak tahu apa yang membuat mereka bisa pergi bersama, entah kapan, entah bagaimana laki-laki itu menutupi semua dengan rapi. Sampai tanpa sengaja, Haira menemukan foto itu di hard disk Gama, saat mereka merevisi proposal pameran foto.
Tidak selayaknya Haira cemburu, karena Gama selalu bilang bahwa mereka hanya teman. Atau malah teman baik, karena Gama rela membagi harinya, bahkan setiap detiknya untuk Veron.
Ketika Haira bertanya lebih jauh, Gama tidak pernah memberikan jawaban jelas. Kemarahan Haira adalah kesalahan. Karena itu, Haira memilih memendam sedih dan kesal. Sama halnya seperti malam ini.
"Enggak. Sudah enggak ada lagi yang mengganjal tentang Veron."
"Ya sudah," ujar Gama sambil meraih kedua tangan Haira yang sedari tadi kaku di atas paha. Ia ingin perempuan di belakangnya memeluk. Namun, Haira tidak bisa dan tidak mau memeluk dengan erat.
Haira seharusnya bahagia, karena bisa bersandar dan memeluk laki-laki yang ia cinta. Namun, peluk kali ini terasa hampa baginya.
***
Hampir genap seminggu tidak ada obrolan. Jembatan komunikasi di antara mereka perlahan runtuh. Di kamar, sambil merebahkan tubuh di atas kasur, Haira sibuk memikirkan sebuah kalimat yang terpajang di Instagram Story milik Gama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluk
Teen FictionSetiap manusia pernah jatuh ke titik terendah hidup, waktu yang membedakannya. Haira mengalami itu semasa kuliah. Perpisahan, perjodohan, dan label anak durhaka dari orang tua membuat ia ingin menyudahi hidup. Satu hal yang membuat ia bertahan adala...