Tiga malam telah berlalu. Haira masih menimbang-nimbang jawaban untuk Sagala. Di novel Di Tepi Sungai Piedra Aku Duduk dan Menangis, Paulo Coelho, Haira mengingat satu kalimat. Cinta adalah perangkap. Ketika ia muncul, kita hanya melihat cahayanya, bukan sisi gelapnya.
Dahulu, cinta pernah datang dan memperlihatkan sisi terang kepada Haira. Namun, cinta pula yang mendorongnya ke sisi gelap. Haira menangis, meratap, bahkan nyaris gila. Sampai-sampai, ia bimbang ketika setitik cahaya datang. Sagala hadir dan mengulurkan tangan hendak menyelamatkan, tapi Haira ragu. Haira seperti sudah nyaman dengan rasa sakit.
Ketika semua terasa membingungkan, ponselnya menjerit. Ia lupa mengganti mode dering menjadi hening menjelang tidur malam.
"Haira apa kabar?" ujar suara di seberang telepon.
"Baik," Haira menjawab dengan suara parau, lantaran sudah mengantuk. "Ini siapa?"
"Gama."
Haira tidak percaya dengan yang ia dengar. Ia langsung terjaga dan berusaha keras mencerna. Jantungnya berdetak lebih cepat, sama seperti yang selalu terjadi, ketika ia berada di dekat pemilik nama itu.
"Haira? Kamu masih di sana?"
"Ya," Haira menjawab singkat.
"Apa kabar, Haira?"
"Baik."
"Syukur kalau begitu."
"Ada apa malam-malam begini?"
"Aku mau membicarakan sesuatu," ujar Gama.
"Tentang?"
"Aku punya pacar."
"Apakah itu penting?"
"Tunggu, aku belum selesai bicara."
Semakin lama, dada Haira semakin sesak.
"Kamu enggak usah tahu namanya."
"Itu memang enggak perlu," Haira menyahut.
"Pacar aku bilang, dia sering memimpikan aku dan kamu pergi berdua. Gara-gara itu, dia menyuruh aku menyelesaikan yang belum selesai di antara kita."
"Lalu?"
"Menurut kamu, apa yang belum selesai di antara kita?"
"Aku enggak tahu," Haira menjawab sekenanya.
Mereka terdiam. Kemudian, Haira bicara pelan dan terbata-bata, "Mungkin, ada perasaan atau pengakuan-pengakuan yang belum terungkap."
"Oke, kalau begitu, aku mau ketemu kamu untuk menyelesaikan semua."
"Apakah itu perlu?"
"Aku mau kita ketemu besok," Gama mendesak.
"Terlalu mendadak."
"Tiga bulan ke depan, aku enggak ada di Jakarta."
Haira terjebak di kelakarnya sendiri. Meski harinya tidak presisi, tapi peristiwanya benar-benar terjadi. Selera humor Semesta melebihi seluruh pelawak di muka Bumi. Bagaimana mungkin Semesta mengabulkan gurauan Haira kepada Sagala malam itu, bahwa Haira ingin bertemu mantan?
"Bagaimana, Haira?"
"Ayo, kita bertemu besok," Haira berkata dengan yakin.
"Di Warung Sabang, ya, sekaligus merayakan ulang tahun aku di sana."
"Jam berapa?"
"Tujuh malam."
"Oke," Haira menutup telepon. Malam itu, ia tidak bisa tidur. Ia memikirkan apa yang bakal terjadi besok. Apa yang harus ia kenakan, katakan, lakukan di hadapan laki-laki yang pernah ia cinta.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluk
Teen FictionSetiap manusia pernah jatuh ke titik terendah hidup, waktu yang membedakannya. Haira mengalami itu semasa kuliah. Perpisahan, perjodohan, dan label anak durhaka dari orang tua membuat ia ingin menyudahi hidup. Satu hal yang membuat ia bertahan adala...