Haira tiba di kampus pukul delapan pagi dan semua sudut masih sepi. Panitia dan teman yang ikut makrab mulai muncul setengah sampai sejam kemudian.
Haira mengira mereka akan berangkat sesuai jadwal di surat undangan. Kenyataannya, panitia masih menunggu satu orang.
"Untuk peserta dimohon bersabar," kata salah satu panitia di antara rombongan makrab.
"Sabar? Berapa lama lagi aku harus bersabar? Aku sudah menunggu lebih dari satu jam. Adakah kata yang lebih tepat untuk mendeskripsikan hal itu, selain kata sabar?" Haira bergumam sendiri sembari berdiri di antara kerumunan.
Selagi mengedarkan pandangan untuk mencari tahu siapa yang terlambat, Gama memelesat dari kejauhan. Ia mengenakan kaus putih, celana denim biru pendek, dan sandal jepit. Pundaknya menggendong ransel biru dongker. Rambutnya terikat.
"Ayo kita berangkat," Gama berkata sambil mengembangkan senyum begitu sampai di tengah-tengah gerombolan panitia dan peserta makrab, seakan-akan itu cukup untuk menghapus kesalahannya.
Haira yang berdiri tidak jauh dari laki-laki biang telat itu melengos. Ia langsung memanggul ransel sambil menggerutu, "Gara-gara dia, semua orang kesusahan."
Setelah siap dengan barang bawaan masing-masing, semua orang berjalan menuju tronton yang diparkir di halte di depan kampus.
"Kenapa terlambat?" seorang laki-laki kurus, tinggi, berkulit sawo matang, dan berambut cepak, bertanya kepada Gama. Haira ada di belakang mereka, sehingga ia bisa menguping perbincangan mereka sementara yang lain diam.
"Peraturan itu ada untuk dilanggar," kata Gama.
Ucapannya membuat Haira dongkol. Andai punya keberanian, Haira ingin sekali menjambak rambut laki-laki itu.
"Kalau lu tepat waktu, jam setengah sembilan sudah datang, peserta enggak perlu menunggu lama," kata laki-laki kurus itu.
"Lu lebay. Gue, kan, cuma terlambat setengah jam."
"Setengah jam lu bilang cuma? Parah. Lain kali jangan gitu, bro, kasihan yang lain."
"Santai sedikit dong. Kita ini mau senang-senang," ucap Gama.
Haira mendesis, lalu menggerundel sendiri dengan suara berbisik, "Dia bahkan enggak meminta maaf."
Seketika, ponselnya berdering. Rudolf menelepon. "Haira, kamu sudah sampai di mana?"
"Aduh, aku lupa bilang ke kamu. Aku baru mau berangkat. Telat banget, karena harus menunggu ketua panitia makrab," Haira berkata pelan, agar tidak ada orang di sekitar yang mendengar.
"Gama kesiangan?"
"Aku enggak tahu, yang jelas cuma dia yang ngaret parah."
"Terus kalian bakal sampai di lokasi jam berapa?"
"Semoga saja sebelum malam."
"Bagaimana dengan Ibu?"
"Nanti saja di sana."
"Kamu jangan nakal, ya."
"Nakal sama siapa sih? Aku yang seharusnya bilang itu ke kamu," Haira berkata dengan nada tinggi.
"Kenapa kamu jadi marah, padahal aku bicara baik-baik. Lagian kenapa jadi aku?"
"Maretha."
"Masalah itu, kan, sudah selesai sebulan lalu. Aku juga sudah minta maaf."
Masalah itu memang sudah selesai bagi Rudolf, tapi tidak bagi Haira. Maretha adalah adik kelas Rudolf. Mereka sama-sama anggota paduan suara. Suatu malam setelah latihan, Rudolf pernah mengantar perempuan itu pulang dan tidak cuma sekali. Rudolf melakukannya tiga kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluk
Teen FictionSetiap manusia pernah jatuh ke titik terendah hidup, waktu yang membedakannya. Haira mengalami itu semasa kuliah. Perpisahan, perjodohan, dan label anak durhaka dari orang tua membuat ia ingin menyudahi hidup. Satu hal yang membuat ia bertahan adala...