8 - Memilih

226 12 2
                                    

Cinta telah memberi ia energi untuk melangkah mengikuti kata hati. Cinta telah memberi ia keberanian untuk mengambil keputusan-keputusan sulit. Cinta telah memberi ia kekuatan untuk melawan, kendati ia harus menanggung perpisahan. Ia juga harus memikul sepi, ketika terbangun dari tidur pagi ini. Tidak ada pesan dari Rudolf, setelah Haira minta putus.

Akan tetapi, bukankah ini adalah salah satu fase yang harus aku hadapi? Bukankah ini adalah takdir yang harus aku jalani? Bukankah menanggung luka hati lebih baik, daripada terus-menerus hidup dalam kemunafikan?

Haira berkata kepada dirinya sendiri. Ia mencoba memahami semua. Sebelum keluar dari kamar, ia menghela napas panjang ibarat jurus untuk melepaskan beban yang menghimpit hati.

Jarum pendek pada jam di atas meja belajar diam di angka lima, jarum panjang di angka dua belas. Setelah merasa lebih ringan, Haira membuka pintu kamar. Segala sesuatu berjalan dengan baik, seperti tidak terjadi apa-apa. Ibunya sibuk menyiapkan sarapan, sementara bapaknya baru selesai mandi.

"Ibu masak apa?"

"Ibu memasak makanan kesukaan kamu. Selamat ulang tahun, Haira."

"Ya ampun, aku lupa," Haira menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum kaku. Kesedihan telah menyita seluruh atensinya. Untung ada ibunya, sosok paling istimewa yang hafal tanggal ulang tahun setiap orang di rumah. Di balik sikapnya yang tegas dan keras, perempuan itu memiliki perhatian luar biasa untuk keluarganya.

"Berarti ibu masak opor ayam dan sambal goreng kentang?" Haira bertanya lagi.

"Benar banget."

"Aku enggak sabar mau sarapan."

"Kamu mandi dulu dan enggak usah ikut repot di dapur. Kali ini, kamu bantu makan saja."

Haira tersenyum, lantas berjalan ke kamar mandi untuk segera membasuh tubuh. Ia berharap dengan membersihkan badan, kesedihannya juga luruh.

***

"Hai, Haira," seseorang berseru dari belakang.

Haira yang berjalan menuju kantin kampus berpaling. Sekitar sepuluh langkah jauhnya, Gama tersenyum kepadanya. Gaya berpakaian laki-laki itu tidak pernah berubah. Ia selalu mengenakan t-shirt dan celana jeans. Kali ini abu-abu berpadu dengan biru. Dan seperti biasa, semua barang bawaan ada di map di genggamannya. Ia sederhana cenderung santai.

Haira ingin bilang kalau ini adalah hari ulang tahunnya. Usianya genap sembilan belas tahun. Namun, ia merasa hal itu tidak penting untuk dikatakan.

"Bengong aja, padahal aku panggil kamu dari tadi," katanya saat mendekat.

"Yang benar?" Haira menanggapi singkat.

"Wajahmu juga terlihat kuyu. Kamu sakit?"

Haira juga ingin sekali bilang kalau ia sudah putus dengan pacarnya, tapi itu juga bukan hal penting.

"Aku baik-baik saja. Kita juga sudah lama enggak bertemu, jadi kamu mungkin pangling."

"Ya ampun, kita enggak ketemu cuma beberapa hari, masa aku pangling sih sama kamu?"

Haira tersenyum hambar.

"Kamu mau ke mana?"

"Aku mau ke kantin beli minum, lalu ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas."

"Aku mau ganggu kamu sebentar, boleh?"

"Boleh."

"Aku butuh bantuan kamu."

"Apa?"

"Kayaknya lebih enak kalau kita mengobrol sambil duduk di kantin," kata Gama.

"Oke, tapi jangan lama-lama."

PelukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang