Haira tidak bisa menjadi pendengar yang baik pada penjelasan materi ketiga di hari kedua. Penyebabnya ada pada Gama. Gara-gara kecerobohan laki-laki itu kemarin, Haira sudah memindahkan namanya ke daftar orang yang layak diabaikan.
Haira bersikap masa bodoh dan mengobrol pelan dengan Nadine.
Gama tahu akan hal itu, dan ia menegur lagi. "Betul, kan, Haira?" Gama bertanya sambil memicingkan mata.
Haira tidak mampu menjawab, karena ia memang tidak memasang telinga pada ucapan laki-laki pemberi materi sore itu.
"Makanya, dengarkan. Jangan bisik-bisik terus," ujar Gama.
Namun, Haira tetap tidak menghiraukan dan semakin enggan mendengarkan pemaparan Gama. Yang ia lakukan sepanjang Gama mengoceh, yaitu menulis hal-hal lain di buku catatan. Tentu saja, itu untuk memberi kesan kalau ia sibuk menyimak.
Beruntung, senja segera datang membawa malam. Sesi ketiga dibubarkan. Setelah mandi, semua orang makan malam. Ada sedikit permainan sebelum semua kembali ke tenda untuk tidur.
Ketika terlelap, Haira mendengar sayup-sayup suara yang membangunkannya.
"Ayo bangun! Bangun! Bangun!" Suara itu semakin jelas mendarat di telinga Haira. Ia juga merasakan tenda bergoyang-goyang, seperti dipukul entah pakai apa.
"Menyebalkan sekali," Haira menggumam setengah sadar. Ia berkeras membuka mata. Rasa pusing hinggap di kepalanya, lantaran terpaksa bangun dari tidur yang nyenyak. Ia mengambil kacamata di kiri kepalanya, lalu memakainya.
Dengan mata setengah terbuka, setengah terpejam, serta dengan setengah sadar, dan setengah mengantuk, ia berjalan menuju tenda besar. Ia duduk di hadapan gelas-gelas kecil berisi kopi serta teh, dan sebaskom pisang goreng.
Meski sudah menggunakan sweater serta celana panjang, hawa dingin tetap menggigit kulitnya. Rasa ngilu menembus hingga ke tulangnya. Haira mengambil segelas teh panas yang ditawarkan panitia untuk menghangatkan tubuh.
Sementara itu, seorang panitia laki-laki berambut kribo berkulit hitam, duduk di depan papan tulis. Ada dua orang yang memegang papan tulis sebagai penyangga di kanan dan kiri. Laki-laki kribo itu pun bicara di hadapan seluruh peserta makrab.
"Acara selanjutnya adalah jurit malam," katanya.
Haira masih berusaha memahami perkataan itu.
"Kalian akan berjalan di tengah hutan, mencari pos-pos yang sudah dijaga panitia. Saat tiba di pos, panitia akan memberikan pertanyaan seputar materi makrab. Ada sepuluh pos. Kami akan memberikan kata kunci untuk masing-masing pos, agar kalian tidak tersesat," ujar laki-laki kribo itu lebih lanjut.
Lalu dia menuliskan kata kunci secara berurutan di papan tulis: Batu Nisan, Jembatan Merah, Bangku Kosong, Akar Besar, Sungai Kegelapan, Rumput Berbisik, Rumah Kosong, Pinus Mencekam, Tiang Berkarat, dan Lorong Gulita.
Haira membaca dengan saksama dan imajinasinya berubah liar. Ketakutan mulai menggerogoti benaknya.
"Kalau terjadi sesuatu, kalian langsung saja berteriak "cicak di dinding". Itu adalah kode bahaya, dan akan ada panitia yang segera menolong kalian. Mereka juga akan menyusuri rute jurit malam, bolak-balik, untuk berjaga-jaga. Bila kalian berpapasan dengan mereka, langsung saja ucapkan kode bahaya. Kalian sudah siap?" ucap laki-laki kribo itu.
Semua peserta mengangguk.
"Oke, kita mulai sesuai urutan kelompok. Haira, Dion, dan Nadine sudah siap?"
Haira terperanjat mendengar namanya dipanggil. Jujur saja, mentalnya belum siap untuk melakukan jurit malam. Namun ia tidak mungkin mengatakannya kepada panitia. Ia bisa dianggap lemah dan ditegur. Lebih buruknya lagi, ia bisa jadi bahan ejekan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluk
Teen FictionSetiap manusia pernah jatuh ke titik terendah hidup, waktu yang membedakannya. Haira mengalami itu semasa kuliah. Perpisahan, perjodohan, dan label anak durhaka dari orang tua membuat ia ingin menyudahi hidup. Satu hal yang membuat ia bertahan adala...