Empat bulan kemudian.
Haira melanjutkan hidup dengan menyandang satu tanda tanya besar. Selama tiga bulan, pertanyaan tersebut terus mengganggu pikirannya. Mengapa wajahnya muncul pada detik-detik aku menginginkan semua berakhir?
Kereta yang memelesat di hadapannya tak jua menghamburkan kalimat itu bak potongan-potongan kertas yang berterbangan ke langit. Semua tersusun rapi, dengan atau tanpa menemukan jawaban kelak.
Kemudian, ia mulai mengamat-amati isi kereta dari jendela. Moda transportasi itu penuh sesak dengan manusia. Haira melesak ke antara himpitan tubuh-tubuh berpakaian rapi itu.
Hembusan udara dari mesin pendingin tidak mampu menyejukkan badannya. Keringat tubuhnya mengucur, beberapa saat setelah ular besi melaju. Ia bertahan sampai di stasiun tujuan.
Sesudah menginjakkan kaki di peron, Haira berjalan kaki tidak terlalu jauh ke sebuah rumah yang disulap menjadi kantor. Ia harus menemui seorang perempuan bernama Rieke Deolinda.
Begitu mereka duduk berhadapan, Rieke mengisahkan hidupnya, "Saya enggak buta sejak lahir, Haira. Semasa kecil, saya mengalami retinitis pigmentosa, suatu kemunduran progresif pada fungsi retina. Dokter sudah angkat tangan, ketika saya berusia 17 tahun. Sejak itu, saya buta."
Haira tertegun bukan karena iba, melainkan ia kagum lantaran perempuan di depannya mampu mengatakan itu semua dengan tegas tanpa memelas.
Aplikasi perekam suara di ponsel Haira terus menyala. Sebelum cerita Rieke mengalir, Haira sudah meminta izin untuk mengaktifkannya dan meletakkan ponselnya di meja di antara mereka.
"Tuhan memang pinjam mata saya, tapi kan saya punya mulut. Jadi cita-cita yang terpikir saat itu guru atau dosen. Sudah sekian banyak saya mengirim lamaran, tapi tidak pernah ada kabar," Rieke bercerita tentang masa lalunya. Ia kemudian teringat, "Malah ada institusi pemerintahan yang berkomentar 'kalau ibu kerja di sini malah merepotkan kami'. Ini enggak usah off the record. Kamu tulis saja. Kenyataannya, negara kita memang masih belum ramah terhadap penyandang disabilitas."
"Ya," kata Haira, "Lalu apa yang Anda lakukan setelah mengalami banyak penolakan?"
"Karena saya enggak mau menjadi tukang pijat, ya, saya mengajukan beasiswa. Akhirnya, saya bisa studi master di Inggris. Sistem yang ada di sana sangat terbuka sekali terhadap penyandang disabilitas. Misalnya, mereka bertanya tentang apa saja yang dibutuhkan. Saya bilang kalau saya butuh buku dengan huruf braille, personal assistant untuk membacakan saya buku. Dari situ, hati kecil saya marah. Kenapa negara saya enggak bisa seperti itu? Mengapa kami begitu sulit masuk ke dalam sistem?"
Haira menyimak dengan saksama.
"Pengalaman itu menggerakkan saya untuk kembali ke Indonesia dan mendirikan lembaga ini. Rieke Institute fokus pada pengembangan kepribadian dan karier anak-anak disabilitas, konseling, dan pelatihan untuk orang tua dengan anak disabilitas."
Kemudian, percakapan bergulir ke banyak hal menarik. Haira sering mengembangkan senyum, ketika mendengar kalimat penuh optimisme dari Rieke. Haira senang dengan liputan kali ini.
Profesi jurnalis tidak melulu kelihatan mewah seperti yang dibayangkan kebanyakan orang. Haira tidak selalu mewawancarai model, artis, atau pejabat. Tidak pula mendatangi konferensi pers di hotel bintang lima atau ke luar negeri. Tidak juga bersentuhan dengan kekuasaan, uang, atau berlian.
Yang ia dapatkan hari itu jauh dari kata glamor. Namun, ia bisa bertemu manusia baru dengan kondisi dan latar belakang baru. Ia pun bisa mendengar banyak hal baru, sudut pandang baru, dan cerita-cerita menggetarkan hati yang belum pernah ia dengan sebelumnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/199716911-288-k752318.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluk
Teen FictionSetiap manusia pernah jatuh ke titik terendah hidup, waktu yang membedakannya. Haira mengalami itu semasa kuliah. Perpisahan, perjodohan, dan label anak durhaka dari orang tua membuat ia ingin menyudahi hidup. Satu hal yang membuat ia bertahan adala...