16 - Luka Berdarah

294 14 2
                                    

Haira minim stok baju putih. Ia hanya punya satu yang masih bersinar tanpa tulisan apa pun. Tidak ada pilihan lain. Ia memadukannya dengan celana denim biru, tanpa aksesori yang melekat di tubuh. Haira hanya menyandang tas kecil hitam berisi ponsel, dompet, dan menjinjing kardigan untuk mengantisipasi suhu rendah di bioskop. Maklum, ia gampang kedinginan.

"Kamu tampil seadanya banget di kencan pertama kita," Sagala spontan berkomentar, saat mereka bertemu di stasiun kereta api Gondangdia.

"Kencan?" Haira terheran-heran.

"Apa istilah yang tepat untuk mengambarkan laki-laki dan perempuan yang pergi menonton bioskop di hari Sabtu?" Sagala bertanya dengan raut wajah usil.

Haira mengangkat kedua bahu dan meraih helm hitam yang disodorkan Sagala. Ia tidak ingin berdebat lebih jauh. Sambil duduk di jok belakang motor bebek merah, Haira memakai helm.

"Baju putih kamu cuma itu?" Sagala bertanya sambil melajukan motornya.

"Aku, kan, sudah bilang, aku jarang punya baju putih."

"Lain kali, kamu yang menentukan dress code kita."

"Harus banget?"

"Supaya kompak." Kemudian, Sagala bertanya sambil mengarahkan kaca spion ke wajah Haira. "Ngomong-ngomong, baju putih itu pemberian siapa?"

"Teman aku. Ini isi goddie bag pas dia liputan kesehatan. Kenapa? Jelek, ya? Kamu malu jalan sama aku?"

"Enggak kok."

"Oke, aku bakal pakai baju bagus lain kali."

"Nah, gitu dong." Sagala tersenyum.

"Sekarang, kita mau ke mana?" Haira bertanya, saat motor melintasi Tugu Tani.

"Kita menonton bioskop di Metropole."

"Ada film apa?"

"Lihat saja nanti."

Setelah menonton film yang tidak terlalu bagus, mereka makan di kedai yang masih satu area dengan bioskop. Tidak ada yang spesial dari tempat makan itu. Dindingnya putih, tanpa lukisan, hanya ada sebuah cermin, jam dinding, dan daftar menu berhuruf jumbo. Membosankan.

"Ada pempek enak di sini. Kamu mau?"

"Serius?"

"Kamu meragukan?"

"Dari tempatnya kelihatan enggak meyakinkan."

"Aku berani jamin enak."

"Boleh, deh."

"Kamu mau minum apa? Es teler, ya?"

"Kamu ini tanya, tapi pilih sendiri. Aku manut aja."

Sambil menunggu pesanan, Sagala bertanya, "Saat berangkat ke sini, kamu bilang apa sama orang tua kamu?"

"Mau pergi liputan."

"Kenapa bohong?"

"Mereka enggak perlu tahu kalau aku pergi sama kamu."

"Kalau kita sudah pacaran, kamu akan pamit dengan jujur, kan?"

"Lihat nanti," Haira menjawab singkat.

Setelah pesanan datang, Haira langsung mencicipi hidangan di hadapan. Sagala benar. Haira sangat menyukai pempeknya. Nikmat, tidak anyir, dan rasa cukanya pas. Es telernya juga terasa menyegarkan dan tidak terlalu manis di lidah Haira.

"Semua enak, Bang," Haira berkata sambil menyantap pempek.

"Itu karena kamu makan sama aku." Lalu, Sagala mengusulkan, "Bagaimana kalau kita lanjut jajan lagi di Jalan Jaksa?"

PelukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang