13 - Wajahnya

238 11 0
                                    

Di tengah kesibukan mengetik bab lima skripsi, Haira terperanjat. Bunyi pintu terbuka menghentikan gerakan jemarinya di atas tuts laptop.

Ibunya melakukan satu hal langka. Tiba-tiba, ia datang ke kamar Haira. Ia duduk di kasur dan mengajak berbincang, padahal mereka biasa berbincang di ruang keluarga sambil menonton televisi. Itu pun jarang terjadi. Mereka lebih sering diam, karena pembicaraan selalu berujung pada perdebatan.

"Kamu sedang apa, Haira?"

"Mengerjakan skripsi, Bu."

"Haira, apa rencana kamu setelah lulus kuliah?"

Haira mencium gelagat aneh. Pertanyaan seserius itu tidak pernah keluar dari bibir orang tuanya, karena mereka selalu mengambil kemudi atas setiap perjalanan hidup Haira. Mereka selalu mengambil keputusan sendiri, tanpa mendiskusikannya terlebih dahulu.

"Aku ingin bekerja. Aku akan melamar pekerjaan ke beberapa perusahaan media setelah bab terakhir hampir selesai," Haira menjawab sambil tetap mengetik revisi skripsi.

"Bagus. Tapi, Haira, saat ini Ibu sudah tua. Bapak juga sebentar lagi pensiun. Cita-cita kamu tadi sangat tepat, namun akan lebih baik kalau kamu menikah dulu dengan Dirga, mungkin."

Haira tertegun. Selama beberapa detik, ia terdiam dan tidak mampu menggerakkan jemarinya. Lalu, ia membalikkan tubuh menghadap Ibu. Saat Haira baru ingin berbicara, Ibu sudah menghujaninya dengan beberapa pertanyaan.

"Apa kamu sudah mencoba mengobrol dengan Dirga? Sekarang jam tujuh malam. Semestinya, dia sudah sampai di rumahnya."

"Belum."

"Kamu yang belum menghubungi atau dia yang belum sampai?"

"Aku yang belum menghubungi dia."

"Dia seorang pegawai negeri, Haira," kata Ibu.

"Aku tahu."

"Ibu hanya ingin kamu hidup bahagia."

"Saat ini aku bahagia, Bu."

"Kamu coba dulu deh."

"Tapi aku belum lulus, Bu. Aku juga masih mau kuliah lagi."

"Haira, jangan terus-menerus membantah perkataan Ibu. Sekali ini saja, kamu berusaha menuruti permintaan Ibu."

"Oke. Tapi hanya mengobrol dan tidak lebih," Haira berkata dengan tegas.

"Haira, Ibu minta tolong ke kamu untuk menjalin hubungan yang lebih serius dengan dia, syukur kalau kalian bisa menikah."

Haira kaget sekaligus bingung mendengar ucapan ibunya. "Aku belum kepingin menikah, Bu," katanya.

"Atau tidak perlu sejauh itu. Kalian penjajakan saja dulu."

"Untuk selamanya pun tidak harus sejauh itu, Bu," Haira mulai bicara dengan nada tinggi. Setelah itu, ia mengalihkan perhatian ke skripsinya.

***

Keesokan harinya.

Ibu mengulang kembali tindakannya. Ia masuk ke kamar Haira, tanpa mengetuk pintu. Haira sedang melihat ponsel sambil tiduran. Ibu duduk di tepi kasur.

"Apakah kamu sudah menghubungi Dirga?" kata Ibu.

"Sudah. Aku sudah meminta maaf, karena telah menolak menjadi pacarnya waktu itu," jawab Haira sambil mengubah posisi tubuh, dari tidur jadi duduk bersila di atas kasur. Ia juga meletakkan ponselnya di atas pahanya.

"Bukan, bukan itu. Maksud Ibu, apakah kamu sudah menelepon lagi dan mengajaknya bicara?"

"Belum."

"Kenapa?"

"Aku memang enggak mau mengobrol dengan dia, Bu. Lagi pula, aku sudah bilang kalau aku enggak suka sama dia," Haira berkata jujur.

"Tapi dia pria baik, pegawai negeri pula. Apa lagi yang kurang? Enggak ada, Haira."

"Kenapa Ibu selalu mengelu-elukan orang yang bekerja sebagai pegawai negeri, seakan-akan profesi lain enggak berharga?"

"Kenyataannya memang seperti itu. Dirga sempurna buat kamu dan keluarga kita yang hidup sederhana. Kamu harus belajar mencintainya."

"Cinta enggak bisa dipaksa, Bu."

"Bisa, asal kamu mau belajar," Ibu berkata dengan nada bicara lembut.

"Belajar? Apakah cinta butuh dipelajari? Butuh diperhitungkan? Dibagi? Tambah? Kurang? Kali? Atau, ah, sudahlah. Pokoknya, aku enggak mau," Haira mulai marah.

"Haira, ayolah. Belajar. Jatuh cintalah kepadanya."

"Aku enggak bisa."

"Ini semua demi kebaikan kita."

"Enggak, Bu. Aku hanya ingin melakukan apa yang aku anggap benar."

"Mencintai laki-laki seperti mantan pacar kamu itu kamu anggap benar? Di sudah menyakiti kamu, Haira. Lagian dia pasti bakal menjadi wartawan, pekerjaan yang gajinya kecil dan hidupnya enggak akan bahagia."

"Apa sih arti bahagia itu? Apakah bahagia adalah memiliki harta berlimpah? Apakah bahagia adalah ketika bekerja sebagai pegawai negeri? Apakah bahagia adalah menikah dengan laki-laki kaya raya? Mungkin itu definisi bahagia bagi Ibu, tetapi enggak buatku. Lagi pula, bisakah seseorang dinilai dari kekayaannya, Bu?" amarah Haira mendidih.

"Haira, kamu enggak sopan, kasar, dan pikiran kamu semakin enggak realistis."

"Meminta anak untuk menikah hanya untuk memperbaiki kondisi ekonomi keluarga juga sama sekali bukan perbuatan terpuji. Ibu dan Bapak hanya memikirkan diri kalian sendiri."

"Kamu keterlaluan, Haira," ibunya mulai kehilangan kesabaran.

"Aku memang seperti ini, Bu. Kalau Ibu kaget mendengar kata-kataku, berarti Ibu enggak mengenal anak Ibu sendiri selama dua puluh tahun."

"Haira, manusia itu membutuhkan uang supaya bisa bertahan hidup, bahagia, dan dihormati orang lain. Ketika seorang laki-laki baik hati dan memiliki masa depan menjanjikan datang kepadamu, kamu sudah selayaknya menerima dia. Perempuan itu dipilih, bukan memilih."

"Manusia memang butuh uang untuk bisa bertahan hidup, tapi bukan berarti uang dapat mengendalikan manusia. Sebagai perempuan, aku juga berhak memilih. Aku berhak menentukan kebahagiaanku sendiri. Aku enggak mau berhubungan dengan Dirga," nada bicara Haira lebih tinggi dari sebelumnya.

"Kamu anak durhaka!" Ibunya membentak. Kemudian dia menatap Haira dengan gelisah, seperti ada perasaan sedih, marah, dan kecewa yang bergejolak di hatinya. Lantas segunung air di pelupuk matanya meleleh pelan melewati pipinya yang kendur.

Sementara itu, Haira tidak mampu berkata-kata. Pernyataan itu barangkali memang untuk membungkam mulut Haira. Ia berusaha merekam momen ini sebaik-baiknya. Jantungnya yang berdebar lebih cepat, karena lelah melawan. Dan hatinya yang terasa perih, lantaran kalimat itu terlalu tajam, sehingga menggoreskan luka yang sangat dalam.

Sambil menyeka air mata di wajahnya, Ibu keluar dari kamar dan menutup pintu. Ketika itu pula, hasrat untuk bunuh diri membungkus benak Haira. Sambil duduk di atas kasur seraya memejamkan mata, perempuan itu membanting kepala ke dinding kamar berulang kali.

Bum. Bum. Bum. Bum. Bum. Haira mendengar setiap dentuman kepala yang beradu dengan tembok. Konstan. Semua berlangsung begitu saja. Sampai pada satu titik, kepalanya penuh dengan satu wajah. Gama.

Aku suka cara kamu melihat huruf. Kalimat itu dan tawa canda di antara mereka pun terngiang di kepalanya. Haira berhenti menyakiti dirinya sendiri dan menangis sejadi-jadinya.

PelukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang