01 • Hope

11.6K 631 38
                                    

Mataku mengedar menatap sekeliling gerbong yang penuh sesak terisi oleh berbagai jenis manusia yang mencoba mengadu peruntungannya di ibu kota. Mulai dari mahasiswa, PNS, karyawan swasta, pedagang, buruh, hingga pekerja lepas, semua berlomba menaikkan strata hidup masing-masing. Aku sendiri adalah satu dari berbagai jenis manusia di atas, yang menggantungkan nasib di kota tempat kelahiranku 28 tahun lalu.

Dengan penampilan rapi khas pekerja korporat kelas menengah, aku dengan sedikit susah payah berusaha berjalan menepi menuju pintu keluar gerbong kereta listrik itu. Sebelum kereta ini akhirnya mencapai stasiun commuter line terdekat dari kantorku yang terletak di kawasan Jalan MH. Thamrin, aku menghela sebuah napas panjang karena akhirnya akan segera terbebas dari ruang dengan kepadatan yang kadang tak masuk akal di jam masuk dan pulang kerja itu. Sebetulnya demi menghindari kepadatan itu aku bisa saja mengendarai mobil yang ku beli dari hasil tabunganku sebagai karyawan beberapa tahun ini. Namun sayangnya kendaraan pertama yang didaftarkan atas namaku itu, harus dibawa oleh adikku untuk diservis rutin hari ini. Terlebih, plat nomor genapnya membuat mobilku itu tak bisa masuk kawasan tertentu karena aturan ganjil genap yang disahkan pemerintah sejak 2016 lalu.

Jam yang melingkar pas di tanganku, kini sudah menunjukkan pukul 7 lebih ketika akhirnya kakiku menjejak keluar di atas stasiun yang ku tuju. Karena waktuku menuju tempat kerja tak lagi tersisa banyak, jari jemariku dengan cepat segera memesan layanan ojek online demi bisa menghemat waktu. Lebih parahnya, ini adalah hari Senin, tanpa bantuan paranormal pun orang awam tentu tahu jalanan Jakarta akan lebih ramai dibandingkan hari lain dalam satu pekan yang ada. Kalau sampai terlambat sampai di kantor hari ini, mood-ku bisa-bisa rusak sampai lima hari ke depan.

•••

"Pagi, Sarah!"

Langkahku terhenti tepat di belakang pintu pembatas antara area karyawan dan tamu pada lobi utama gedung perkantoran milik induk perusahaanku itu ketika sebuah suara tegas namun lembut menyerukan namaku.

"Eh, pagi, Bu! Tumben Bu Yuri baru dateng agak siang gini, nih?" aku membalas sapaan marketing manager di perusahaan tempatku bekerja itu dengan semangat.

"Iya, Sar. Kemarin si Lucas demamnya tinggi banget, nih. Jadinya aku nggak berani ninggalin cepet-cepet tadi." Jawab wanita itu seraya memindai kartu identitas karyawan miliknya agar dapat melewati pintu pembatas antara kami.

"Tapi sudah dibawa ke dokter, kan, bu?"

Wanita itu menahan senyumnya sebelum menjawab pertanyaanku, "Kata papanya gak usah di bawa ke dokter. Soalnya ini tadi dikasih Paracetamol juga udah agak mendingan, kok."

"Oh iya, papanya Lucas kan dokter ya, Bu. Lupa saya." Aku yang baru mengingat fakta itu, tersenyum canggung seraya melangkah mengikutinya menuju lift.

Sambil melanjutkan bincang-bincang pagi, kami berdua berjalan menuju sekelompok karyawan yang berdiri menunggu lift untuk menuju kantor mereka masing-masing. Gedung tempat kami bekerja ini memang disewakan sebagai kantor untuk berbagai perusahaan, jadi tidak mengherankan jika banyak dari kami yang bekerja di sini tak saling mengenal. Apalagi di gedung yang memiliki total kurang lebih 40 lantai ini, perusahaan kami hanya berstatus sebagai anak perusahaan, jadi jumlah karyawan kami juga tak sebanyak di perusahaan induk.

Perbincangan antara kami yang awalnya terasa begitu santai, tiba-tiba saja berubah menjadi tak nyaman bagiku. Tentunya bukan tanpa alasan yang jelas perasaan itu menghinggapiku. Di antara karyawan yang berkerumun itu, tanpa sengaja mataku menangkap sesosok pria yang sebisa mungkin ingin ku hindari berbulan-bulan bahkan hampir satu tahun belakangan ini. Sosok pria yang membuatku ingin sekali meminta pada HRD untuk memutasiku ke anak perusahaan lain di pelosok daerah agar kami berdua tak perlu lagi bertemu.

The One That Behind You [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang