19 • God is Good

4.6K 369 2
                                    

"Kandungannya bagus sekali ini! Embrionya sudah jadi janin. Ini panjangnya kelihatan, ya? Ini wajahnya juga sudah mulai terbentuk. Terus di sini, katup jantungnya juga mulai kelihatan. Dedeknya, just perfect!"

Aku hampir saja menangis melihat layar hitam putih yang memproyeksikan isi perutku. Rasanya begitu aneh dan membingungkan saat mendengar penjelasan dokter di hadapanku itu. Bagaimana bisa, ada sebuah kehidupan lain yang berada di dalam tubuhku selama 7 minggu ini? Apa ini yang disebut keajaiban?

"Ibu, nggak boleh banyak pikiran, ya. Harus happy terus biar dedeknya happy juga. Jangan diforsir kerjaannya." Perintah Dokter yang juga menangani kehamilan Wanda itu.

"Iya, Dok." Jawabku yang masih asyik memperhatikan mahkluk berbentuk asing bernama janin itu.

"Karena ini kehamilan pertama, tolong dimaklumin, ya, Pak, kalau suasana hatinya ibu kadang suka berubah-berubah, terus suka bad mood sendiri. Cobaannya suami siaga itu, Pak." Kekeh beliau.

Sean mengangguk sopan menjawabnya.

Mataku yang awalnya tertuju pada layar alat USG, perlahan mulai melirik ke arah Sean yang tampak sedikit canggung dan tegang itu. Aku tak tahu bagaimana perasaannya sekarang. Wajahnya yang sedari tak begitu ekspresif, membuatku kebingungan. Bahkan saat aku menunjukkan hasil testpackku padanya, ia hanya menatapku kosong dengan senyum yang sedikit dipaksakan.

Air mataku menggenang. Sepanjang perjalanan kami kembali ke Rumah, rasanya aku ingin sekali menangis karena ia tampak tak begitu senang dengan kehamilanku. Padahal, bagiku saat ini dunia berputar hanya padanya dan calon bayi kami. Sungguh kenyataan yang menyedihkan.

"Kamu... nggak seneng, ya?" Tanyaku hati-hati saat mobil kami sudah terparkir aman di carport.

"Ngobrol di dalam aja, ya." Ia menghela napas berat.

Aku segera mengikutinya keluar dari mobil dan berjalan menuju ruang tengah tanpa banyak protes. Aku sadar, dinikahi seorang Sean saja sudah merupakan suatu keberuntungan untukku. Jadi kalau aku ingin menuntut lebih, rasanya aku sama sekali tak pantas.

Tatapanku kini beralih menuju layar televisi yang mati dan menampilkan bayangan kami berdua. Ingin sekali aku bertanya mengapa ia begitu takut dan frustrasi saat kehilangan anak yang dikandung Dira, namun ia seakan acuh pada anak yang ku kandung padahal mereka sama-sama darah dagingnya. Namun sayang, untuk bersuara saja kini lidahku terlampau kelu.

"Maafin aku ya, Mas. Aku nggak tau kalo kamu... masih belum mau... punya anak dari aku." Sebisa mungkin aku tak ingin menangis di depannya.

Setelah beberapa saat membisu, lelaki itu akhirnya jatuh. Dia jatuh terduduk di atas lantai dan membenamkan wajahnya di pahaku. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat Sean yang selalu tampak kuat, kini menangis keras dengan begitu menyakitkan. Air mataku tak bisa lagi terbendung saat bibir pucatnya mengucap kata maaf dan terima kasih berulang kali.

"Maafin aku... maafin..a..ku.." Lirihnya terbata sambil tetap tertunduk.

"Mas, jangan minta maaf. Kamu nggak salah." Aku menyamakan posisi duduk kami dan memeluknya erat

"Mmm...maafin aku, Sar. Mmm..maaf..in aku..."

Aku menangkup wajahnya yang basah dengan air mata. "Mas, lihat aku..."

The One That Behind You [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang