21 • Pictures

4.2K 354 10
                                    

Dua bulan berlalu sejak aku harus bekerja di dalam satu tim dengan Leon dalam project untuk klien kam. Walaupun aku pastinya merasa sedikit tidak nyaman dengan keadaan ini, namun aku berusaha tak memedulikan hubungan pribadi antara kami. Apalagi sejauh ini pria itu bisa menunjukkan kualitas profesionalnya dalam memimpin tim kami. Ya, tapi tetap saja, sikapnya itu tak menghilangkan kewaspadaanku tentang ancamannya padaku malam itu.

"Tiket untuk ke Singapore sudah ready, kan, Sar?" Tanya Leon di tengah rapat kami.

"Sudah, Pak. Jam 13.25. E-ticketnya sudah saya forward ke email masing-masing."

"Okay, Jumat siang kita semua ketemu langsung di bandara, ya. Ada lagi yang mau ditambahkan sebelum meetingnya kita tutup?"

Kami semua menggeleng merasa semuanya sudah cukup.

"Kalo gitu, kita akhiri ya, meeting malam ini. Great job, guys! Selamat malam." Leon mengakhiri rapat malam ini.

Aku menghela napas panjang karena melihat jam dinding yang tergantung ruangan ini sudah menunjukkan pukul 8 malam. Segera ku tutup laptop dan semua catatanku sebelum memasukkannya ke dalam tas agar bisa bergegas pulang. Setelah selesai, aku mengambil jurus seribu langkah demi menghindari kondisi yang paling tak ku sukai, yaitu berdua saja dengan Leon. Namun sial, aku sungguh kalah cepat dengan anggota tim lain yang sudah hilang begitu saja bagai ditelan bumi sebelum aku berdiri dari kursiku.

"Perempuan, tuh, nggak baik loh jam segini belum pulang." Sindir Leon yang baru selesai membereskan barangnya.

"Saya kan kerja, bukan kelayapan." Jawabku sinis.

Ia hanya tersenyum kecil sambil mengulurkan tangannya tiba-tiba. "By the way aku belum ngucapin selamat."

Aku menatapnya perlahan, "Buat apa?"

"Your pregnancy of course." Ia mengkodeku untuk menerima jabatan tangannya.

"Thanks." Balasku dingin sambil berusaha bangkit dari dudukku.

"Nggak mau aku anterin balik?"

"Nggak usah, makasih. Saya sudah sama suami." Aku menghela napas kasar sembari mengirim pesan pada Sean.

"Ternyata kamu bisa galak juga, ya. Aku kira kamu cuma bisa nurut aja." Pernyataan ambigu yang keluar dari bibirnya membuatku mengernyit heran.

"Maksud bapak apa, sih?!"

"Nggak maksud apa-apa, sih. Cuma heran aja kenapa kamu dulu mau aja dimanfaatin." Ia menatap lurus ke depan.

Aku memilih membiarkannya sambil memeriksa beberapa pesan masuk di ponselku. Namun ketika akan membalas pesan-pesan itu, sebuah nomor tak dikenal mengirimiku foto melalui Whatsapp secara terus menerus. Merasa ada yang ganjal, aku tentu saja bergegas mengecek layar obrolanku dengan nomor itu.

Kepalaku terasa berat seketika seakan dihantam sebuah batu besar saat mendapati foto-foto buram dari sepasang manusia yang sedang berpose mesra di atas ranjang hotel. Namun aku tahu dengan pasti, dua orang di dalam foto itu adalah suamiku dan juga... Dira.

"Sar... kamu kenapa?!" Leon menahan tubuhku yang hampir saja ambruk.

Jangankan untuk menjawab pertanyaannya, untuk bernapas pun aku rasanya sangat kesulitan. Dadaku terasa sesak seiring tubuhku yang melemas begitu saja. Kakiku bahkan rasanya tak sanggup lagi untuk menahan gravitasi bumi yang menjatuhkanku. Aku hanya bisa terduduk lemas menahan kekecewaan yang teramat sangat.

"Mas, Sean..."

•••

Sean's PoV

The One That Behind You [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang