10 • Never Play a Game

5K 429 9
                                    

Sarah's PoV

Setiap orang memiliki gayanya masing-masing dalam menikmati sebuah karya seni. Sebagai penikmat seni yang sangat awam, aku pun memiliki cara tersendiri untuk menikmatinya. Salah satunya adalah dengan memperhatikan dalam diam salah satu karya seni paling luar biasa yang diciptakan hampir sempurna oleh Tuhan. Bahkan karena terlampau indahnya, aku hampir tak bisa mempercayai kalau mahakarya itu bisa berada dihadapanku sedekat ini.

Dengan hati-hati, tanganku mencoba menyentuh wajah tampan yang tampak lelah itu dan menjalarkan jariku menuju rahang tegasnya. Rasanya aku masih belum bisa percaya bahwa semalam ia dengan gamblang menyatakan perasaannya padaku. Kalau boleh jujur, tentu saja aku merasa sangat senang karena ternyata harapan yang ku tanamkan padanya selama ini tidak sia-sia. Walaupun sebenarnya di sisi lain aku merasa bersalah padanya karena sudah menuntutnya terlalu banyak.

Saat aku akan melanjutkan apresiasi seni terhadap tunanganku itu, dering nyaring alarm ponselnya membuatku terpaksa berhenti karena merasa dipaksa pergi berperang. Bagaimana tidak, nada alarm yang digunakannya saja adalah 'The Imperial March' yang dikenal sebagai lagu tema Darth Vader dari serial 'Star Wars'. Jadi demi menjaga kedamaian di pagi yang tenang ini, aku perlahan mengulurkan tanganku untuk meraih ponselnya yang diletakkannya pada nakas di samping ranjang tempat kami beristirahat semalam.

"Kamu udah bangun?" Suara khas bangun tidurnya sedikit mengejutkanku.

"Iya..." Jawabku canggung sambil merapikan pakaianku yang sedikit berantakan.

Dengan mata yang masih setengah mengantuk, lelaki itu meregangkan tubuhnya yang pasti terasa kaku karena mendekapku hampir semalaman. "Tidur lagi, Sar. Masih jam segini."

Walaupun semalam kami hanya tidur bersama —secara harfiah tentunya, tapi aku tetap saja merasa terlalu gugup untuk kembali tidur seperti perintah Sean. "Aku... mau bersih-bersih dulu, Mas. Kamu... lanjut tidur aja."

"Baru jam lima lebih, loh!" Ujarnya setelah mengintip ponsel miliknya.

"Iya, aku... nggak bisa tidur lagi kalo jam segini. Aku mau... sholat subuh sekalian." Aku sungguh merasa berdosa karena menjadikan ibadah sebagai alasan. Padahal untuk melaksanakan ibadah wajib lima waktu saja itu saja, aku masih sering lalai.

"Mau jamaah, nggak?"

Aku yang jarang sekali melihatnya beribadah kecuali saat di rumah keluarga kami masih-masing, tak bisa menyembunyikan ekspresi terkejutku di hadapannya.

"Kamu pikir aku udah nggak pernah sholat, ya?" Sean tertawa pelan.

"Nggak.. kok..."

"Gini-gini aku nggak pernah bolong sholat Jumat sampe tiga kali, tau."

Aku mengangguk pelan sambil memasang ekspresi meledek. "Iya... percayaaa..."

"Ya, udah. Ambil wudhu dulu sana, gantian." Sean mengacak rambutku pelan.

Setelah selesai berwudhu dan mengenakan peralatan sholat yang ku simpan dalam 'tas lembur', aku menunggu tunanganku itu bersiap di salah satu sudut kamarnya yang cukup luas untuk dijadikan tempat sholat bagi kami berdua. Tak lama, dengan wajah yang tampak jauh lebih segar, lelaki yang ku tunggu-tunggu itu keluar dari dalam kamar mandi dan segera mengenakan sarung serta songkoknya.

"Ganteng amat, sih, Pak?" Aku kembali meledeknya dengan tampilan yang jarang ku lihat itu.

"Bentar lagi juga tiap hari kamu liat aku begini." Kekehnya sembari mengambil posisi.

Aku yang jujur sedikit malu dengan kata-katanya itu, hanya bisa menahan pipiku yang terasa sedikit memanas.

"Udah?"

The One That Behind You [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang