Setelah insiden pingsannya aku di kantor minggu lalu, akhirnya hari ini aku bisa kembali bekerja seperti biasa. Aku sudah bisa membayangkan, betapa banyaknya pekerjaan yang harus ku tangani karena tak masuk beberapa hari. Apalagi aku dengar dari Pak Calvin, ada klien kakap baru yang akan segera bekerja sama dengan perusahaan kami. Ini berarti, mungkin tim kami akan menjadi bagian dari proyek kolaborasi bersama beberapa divisi dan departemen.
Tak hanya urusan kantor. Setelah Sean tahu masalah kehamilanku, pria itu menjadi sedikit berlebihan dalam urusan pekerjaan rumah. Ia bahkan ingin mencari asisten rumah tangga yang bisa menginap, padahal kami sudah punya Mbak Ningsih, asisten rumah tangga walaupun hanya setiap pagi sampai siang hari.
"Nanti sore aku jemput lagi, ya? Aku mau ketemu pak Marcus juga nanti." Ucap Sean sambil menunggu giliran agar mobilnya bisa masuk dan menurunkanku di lobby kantor. Ia sungguh berlebihan, padahal aku bisa saja berjalan dari pintu gerbang yang tak begitu jauh.
"Iya. Tapi kamu beneran udah enakan? Nggak mau ambil izin aja hari ini?" Tanyaku yang sedikit khawatir karena semalam ia sedikit demam.
Ia tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Udah sehat aku, Yang."
"Are you sure?" Aku bertanya sambil merapikan rambutnya.
"Yes, maam." Kekehnya.
"Ya udah, kamu hati-hati ya di jalan."
"Have a nice day, Yang. Love you." Ia mengakhirinya dengan mengecup bibirku singkat.
"Love you too..."
Dengan langkah yang terasa amat ringan dan menyenangkan, aku berjalan menuju lift untuk mencapai ruangan kerjaku. Suasana Senin pagi yang cukup sepi tak seperti biasa ini, membuatku bisa dengan leluasa memandangi pantulan tubuhku di pintu lift. Senyum tak bisa berhenti menguar dari bibirku saat pandanganku terus terfokus pada satu titik di tubuhku. Perutku yang masih tampak rata.
Dengan sayang, aku mengusap lembut perut berisi buah cintaku bersama Sean. Sejak mengetahui bahwa aku sedang hamil, seluruh hidupku menjadi jauh lebih berwarna. Bahkan entah mengapa, aku merasa hubunganku bersama Sean menjadi lebih menyenangkan.
"Gimana, Sar? Udah enakan?" Sebuah suara yang tak asing menyapaku dan membuatku mengalihkan pandangan pada si pemilik.
Aku menelan ludah kasar begitu mengetahui lelaki itu kini berada di sampingku. "Mas.. eh, Pak Leon..."
"Kaku banget. Nggak bisa santai aja." Ia menatapku dari pantulan pintu lift yang entah mengapa rasanya lama sekali sampai.
"Let it be professional work." Jawabku yang tak ingin merusak mood.
Ia melirikku dari sudut matanya. "I always keep it professional. Everything, even perjanjian pribadi saya dengan pasangan."
"I believe it." Aku berusaha tak memancing keributan lebih jauh.
Leon terkekeh sinis. "You look so happy after your marriage."
Aku hanya tersenyum kecil demi memenuhi sebuah formalitas di hadapan para karyawan lain yang satu persatu mulai berdatangan. "Of course i'm happy. I got married with the right person."
"Let's see it later." Bisiknya sesaat sebelum pintu lift terbuka dan bersiap mengantar kami ke tujuan masing-masing.
Jujur saja aku merasa datangnya lift menyelamatkanku dari pertemuan tak sengaja dengan Leon yang membuatku merasa sedikit tidak nyaman. Moodku pagi ini bahkan seperti lenyap begitu saja saat pria itu membicarakan topik yang bagiku sangat ambigu dan tak nyaman diperdengarkan kepada orang lain. Ah, padahal pagi ini aku harus mengikuti monthly meeting bersama departemenku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The One That Behind You [FIN]
Fiksi PenggemarBagi banyak orang, Sean mungkin adalah sosok laki-laki yang mendekati sempurna. Namun bagi Sarah, celah kecil yang membayangi lelaki itu, membuatnya kembali meragu tentang pernikahan mereka yang sudah di depan mata. Ia dihadapkan pada jalan bercaba...