Tubuhku terasa begitu lemas pasca dokter memintaku untuk duduk di ruang tunggu selama mereka mengambil tindakan untuk Sarah di IGD. Otakku seakan tak bisa digunakan untuk berpikir karena rasa takut, panik, dan menyesal berbaur jadi satu di dalam kepalaku. Ku usap wajahku kasar sembari merapalkan doa-doa dalam hati, berharap istri dan anakku baik-baik saja. Aku benar-benar tak tahu apa yang harus ku lakukan sekarang. Aku tak ingin kehilangan anakku untuk kedua kalinya.
"Sorry, ya." Leon yang membantuku mengantarkan barang-barang Sarah dari kantor ke rumah sakit, memecah keheningan antara kami.
Aku menatap kosong ke arah pintu yang membatasi kami dengan ruang tindakan. "Gue nggak tau, keputusan gue buat mutusin lo hari itu bakal bikin lo dendam segitu dalamnya sama gue dan Sarah."
"Aku tahu," ucapnya tertahan, "kamu akan susah untuk percaya kalau bukan aku yang ngelakuin ini semua. Karena memang... awalnya aku ajak Dira buat mancing kamu."
"Leon, gue minta maaf kalo selama ini lo sakit hati karena gue mutusin lo secara sepihak. Tapi gue mohon, tolong... tolong jangan libatin Sarah." Pintaku frustrasi.
Leon hanya membisu seraya menatapku ragu.
"Gue nggak bisa kehilangan dia."
"Aku tahu. Tugas kamu sekarang jagain Sarah... dan calon anak kalian baik-baik." Pria itu tersenyum kecil. Ia berdiri dari duduknya dan menepuk pundakku pelan lalu berkata, "and I'll finish what I started. Aku akan pastiin semuanya selesai."
Di tengah percakapan kami, seorang dokter jaga yang sedari tadi sudah ku tunggu kehadirannya, berjalan menghampiri kami. Ia berhasil membuatku bernapas lega ketika mengabarkan kondisi Sarah serta kandungannya yang syukurlah baik-baik saja. Aku sungguh tak bisa membayangkan bagaimana jadinya kalau sampai kami harus kehilangan calon anak kami. Mungkin aku benar-benar tidak akan memaafkan diriku sendiri karena sudah bertindak bodoh.
Walaupun dokter mengatakan tak ada akibat fatal karena pendarahan yang dialami Sarah, aku tetap saja merasa bersalah saat mengetahui bahwa penyebabnya adalah kelelahan dan stres. Harusnya sejak awal aku tak membiarkannya mengambil proyek ini kalau tahu ia berada di bawah pimpinan Leon. Apalagi setelah ia melihat foto-foto sialan yang dikirimkan oleh Dira, pasti membuatnya semakin stres.
Setelah diizinkan masuk untuk menemani Sarah, aku menyelinap perlahan ke balik tirai ruang perawatan yang menutupi ranjang tempat ia beristirahat. Mataku seketika fokus pada tubuhnya yang meringkuk dan bersembunyi di balik selimut. Dengan lembut, ku kecup keningnya cukup lama.
"Dokter bilang, setelah infusnya habis kamu boleh pulang." Aku meraih telapak tangannya yang terkulai lemas.
Gadis itu hanya diam dan memandangiku dengan tatapan kosong.
"Maafin aku, ya. Aku udah... nuduh kamu macem-macem." Aku tertunduk malu karena merasa bersalah padanya.
"Mas," lirih dengan suara serak, "I can trust you, right?"
Aku mengangguk pelan dan mencium telapak tangannya. "Trust me. Itu... foto lama waktu aku masih kuliah. I can call Calvin or my college's friend right now. "
Sebelum kalimatku berakhir, ia memotong pembicaraanku. "I trust you, aku percaya sama kamu, Mas. I just," ucapnya tertahan saat ia menarik sebuah napas panjang, "don't want to lose you."
KAMU SEDANG MEMBACA
The One That Behind You [FIN]
FanfictionBagi banyak orang, Sean mungkin adalah sosok laki-laki yang mendekati sempurna. Namun bagi Sarah, celah kecil yang membayangi lelaki itu, membuatnya kembali meragu tentang pernikahan mereka yang sudah di depan mata. Ia dihadapkan pada jalan bercaba...