13 • Choice

4.8K 411 6
                                    

Sarah's PoV

Ku putar bolpoin ku dengan gelisah di antara jari-jariku seraya menunggu Arvin, Uci, dan Erwin yang sedang menyiapkan rapat evaluasi proyek kami hari ini. Jujur saja, aku sebetulnya merasa belum siap untuk mengikuti rapat ini. Bukan karena persiapan kami yang kurang matang, ataupun hasil proyek kami yang memenuhi target. Sama sekali bukan. Persiapan tim kami dapat terbilang sangat matang dan hasilnya, jauh di atas target awal kami.

Yang membuatku merasa tak siap adalah lokasi rapat yang tidak lain dan tidak bukan adalah kantor pusat kami. Bukan karena membenci kantor pusatku, namun yang membuatku tak siap adalah kemungkinan untuk aku bertemu dengan Sean menjadi jauh lebih besar.

Sudah sekitar satu minggu ini, sejak technical meeting pernikahan kami, aku dan Sean tidak lagi saling berkomunikasi seperti biasa. Tak ada telepon, pesan singkat, ataupun berbagi unggahan tak penting dari sosial media untuk ditertawakan bersama. Kalau diperbolehkan untuk jujur, tentu saja aku akan mengatakan bahwa aku sangat merindukan lelaki itu. Namun rasanya akan jauh lebih bijak untuk mempertimbangkan kembali hubungan yang kami awali dengan banyak kebohongan dan trauma.

Para undangan dan tim dari kantor pusat satu persatu, mulai masuk ke dalam meeting room. Jantungku juga terus memompa lebih cepat seiring dengan waktu mulai rapat yang makin dekat. Bahkan, tanganku sudah sangat basah oleh keringat sampai membuatku harus terus memegang beberapa lembar tisu. Padahal hari ini yang akan memimpin rapat dan presentasi bukanlah aku, melainkan Erwin sebagai project leader.

Selama kurang lebih satu jam sejak kami memulai rapat, akhirnya kami berhasil menyelesaikan presentasi laporan proyek besar pertama yang dikepalai Erwin sebagai junior ku dan Arvin. Di sela-sela rapat ini, mataku tak sengaja menangkap sesosok pria tak asing yang sesekali mencoba mengintip ke dalam ruangan tempat kami meeting. Dan kalau kalian menebak itu adalah Sean, selamat! Tebakan kalian benar.

"Selamat, ya! Tim kalian hebat!" Pak Dewo, kepala departemen public relation dari kantor pusat menjabat tangan kami satu persatu.

"Oh, ini Sarah, yang pacarnya Pak Sean, kan, ya?" Tanya Bu Fanny, salah satu karyawan tim pusat.

"Iya, Bu..." Aku tersenyum sedikit canggung menjabat tangan beliau.

"Oalah, ini, to, calon pengantinnya! Selamat, ya, Mbak!" Sambut Pak Dewo yang tampak sumringah.

"Iya, nih. Selamat, ya! Baru aja kita terima undangannya tadi pagi. Eh, siangnya kenalan kita." Bu Fanny menunjukkan senyum manisnya.

"Makasih banyak, Pak, Bu."

Aku tak tahu apakah saat ini aku merasa bahagia atau sedih pasca mendengar kata-kata yang di ucapkan kedua orang yang secara tak langsung merupakan atasan Sean itu. Pikiranku dibayang-bayangi oleh ekspektasi terburuk tentang keputusan Sean atas kelanjutan hubungan kami. Mungkin saja aku akan mengundurkan diri dan mencari pekerjaan di luar kota kalau saja nanti Sean sungguh akan membatalkan pernikahan kami yang sudah kurang dari 2 minggu sebelum hari H.

"Kita lunch di GI aja, yuk! Mumpung dinas luar, di reimburst kantor lagi!" Ajak Arvin sambil memegangi perutnya.

"Wih, Mas Arvin! Boleh juga idenya. Laper juga, nih!" Sahut Uci.

"Sar, laki lo ga mau diajak aja sekalian? Siapa tau mau ikutan." Tawar Arvin.

"Hah? Gak usahlah! Kita-kita aja! Ga enak gue, nanti pada krik-krik lagi." Aku mencoba mencari alasan.

"Eh, yang diomongin dateng, tuh! Halo, Pak!" Erwin melambai ke arah orang yang berjalan menuju ke arah kami.

"Hai! Eh, kalian keren banget sumpah kemarin itu. Festival gabungan segede itu aja kalian bisa handle, coba? Keren, keren!" Sean mengacungi jempol pada kami.

The One That Behind You [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang