14 • Shall We?

4.9K 396 10
                                    

Ruangan berpendingin ini rasanya tak cukup untuk membantuku menghadapi ketegangan yang makin menjadi ku rasakan sejak semalam. Keringat yang ku rasa jauh lebih banyak dibandingkan biasanya, terus mengucur membuat tanganku menghabiskan puluhan lembar tisu demi menghapusnya. Kecemasanku bahkan jauh lebih parah dibandingkan dengan saat aku harus memimpin rapat di depan para client besar.

Sejak dini hari tadi, orang-orang yang tampak sangat bersemangat untuk menyambut salah satu hari terpenting dalam hidupku ini, mulai bersiap-siap. Bahkan sejak pukul 3 pagi tadi, aku sudah dibangunkan untuk bersiap sebelum di rias. Jujur saja, aku yang tak terbiasa tidur dibawah pukul 10 atau 11 itu merasa cukup kesulitan untuk bangun di waktu yang sepagi itu.

"Oke, udah beres! Coba ngaca dulu sayang. Ada yang ganjel nggak?" Tanya Mbak Rosa, makeup artist yang selalu ku inginkan untuk meriasku di hari pernikahan setelah melakukan sentuhan terakhir.

"Ih, cantik anak Mama!" Ucap Mama yang sudah siap lebih dulu dengan bersemangat.

"Udah kayaknya, Mbak."

"Sip. Ini sanggulnya juga udah, ya? Nggak goyang-goyang, kan?"

Aku mengangguk pelan. "Udah, kok."

"Kita foto dulu ya, sayang! Tante ayo, foto juga!" Mbak Rosa dengan semangat mengajakku dan mama untuk berfoto agar dapat diunggah ke instagram.

Debar jantungku makin tak karuan saat Mbak Luna, asistenku dari tim petugas wedding organizer yang akan mengasisteniku hari ini mengabarkan bahwa keluarga Sean sudah sampai. Kini mereka sudah berada di ruang tunggu dan segera bersiap memasuki ballroom tempa akad nikah kami akan dilangsungkan.

"Mbak, jangan lupa doa, dzikir. Pesen Mama Papa, jangan lupa sholat. Jangan suka marah-marah sama suami, kurang-kurangin keras kepalanya."

Aku yang merasa semua sifat yang disebutkan Mama itu benar, hanya mengangguk pelan menjawab beliau karena terlalu tegang.

"Tante titip Sarah, ya, Mbak Lila, Mbak Dina."

"Siap tante." Kekeh mereka berdua.

Mama yang harus bersiap menyambut Sean bersama Papa, juga terpaksa menuju ballroom dan membiarkanku sendiri bersama Dina dan Lila, sahabatku sejak kuliah yang rela datang jauh-jauh dari kota masing-masing demi hari ini.

"Gimana? Siap nanti malem, lo?" Goda Lila.

"Sialan, lo! Jantung gue aja udah mau copot sekarang. Mikir malem lagi!"

"Padahal biasanya lo yang paling semangat urusan unboxing-unboxingan gini!" Timpal Dina.

"Dahlah, gak usah ngelak lo Sar! Lo kan guru besar di dunia dewasa." Kekeh Lila yang paling humoris seperti biasa.

Setelah segala sesuatu akhirnya siap, mbak Luna akhirnya mengarahkanku untuk segera bersiap. Jantungku berdebar keras seiring dengan langkahku yang perlahan mulai semakin mendekat dengan lokasi acara. Ketika pintu besar ballroom dibuka, mataku langsung tertuju pada sosok lelaki tampan dengan pakaian yang senada dengan milikku. Lelaki yang pada awalnya duduk di hadapan penghulu itu, kini berdiri tegak menyambutku yang berada di ambang pintu masuk. Walaupun ku akui ia memang rupawan, tetapi belum pernah aku melihatnya setampan ini dengan setelan pakaian putih gading dan songket yang meliliti pinggang hingga lututnya. Tak lupa, sebuah tanjak* putih yang seragam dengan songket kami bertengger di atas kepalanya.

Ketika pembawa acara memanggilku, mama dan papa yang mendampingiku di kedua sisi, perlahan menuntunku ke arah lelaki itu. Langkahku perlahan terasa semakin berat karena akan meninggalkan Mama dan Papa yang selama ini merawat dan membesarkanku penuh kasih sayang. Namun Sean, lelaki itu perlahan meyakinkanku untuk tetap melangkah maju bersamanya dengan mata yang berkaca-kaca dan juga senyuman yang tidak henti-hentinya tersungging di bibir lelaki itu. Ah, ia membuatku jadi ingin ikut menangis juga bersamanya.

The One That Behind You [FIN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang