BAB 13 - Broken

569 40 0
                                    

Sudah seminggu semenjak kejadian itu, Mas Firman tidak pernah menemui ku atau hanya mengirim pesan. Luka cacar ku sudah mengering tinggal menunggu penyembuhan. Enggan sekali aku berkaca, karena wajah ini sudah hancur karena bekas cacar yang memenuhi wajah ku. Namun harus aku lakukan untuk mengoles salep pada bekas cacar tersebut. Tidak lama ibu masuk dengan piring di tangan.

"Apa itu bu?" Tanya ku memperhatikan isi piring tersebut.

"Ini bedak beras yang udah ibu campur dengan tumbuhan paku ikan untuk menghilangkan bekas cacar kamu."

Aku meraih piring yang di berikan ibu. Menyapunya di sekujur tubuhku.

"Ran, anak pak Farhan udah sukses ya sekarang. Kemarin sebelum ibu ke sini, dia sempat nanyain kamu. Dia titip salam buat kamu?" Ucap ibu membuka obrolan yang aku tahu ibu ingin mulai menjodohkan aku.

"Waalikumsallam." Jawab ku santai.

"Sampai kapan kamu mau jadi perawan? Gak kasian sama almarhum bapak, masih terikat di akhirat karena anak gadisnya belum nikah-nikah." Ucap ibu dengan mata senduhnya. Sungguh teriris hati ku mendengar ucapan ibu. Anak mana yang mau melihat orangtuanya menderita dan masih menanggung beban walau sudah tiada.

"Iya bu, doakan aja. Rania juga tidak ingin lama-lama. Namun dengan kondisi Rania seperti ini, mana ada yang mau nikah sama Rania." Ucap ku dengan senyum kecut. Ya, mana ada yang mau nikah sama aku dengan kondisi wajah yang rusak karena cacar ini. Belum lagi tubuhku hampir 80% di tumbuhi oleh cacar. Aku saja malu melihat wajah ku dan bertemu orang-orang.

Selain obat herbal aku juga meminta tolong Naya mencarikan aku obat kimia yang bisa menghilangkan bekas luka cacar. Hari ini obat dari Naya sudah habis, aku ke apotek untuk membelinya. Saat akan pulang, aku melihat orang yang seperti aku kenal. Namun dia menggunakan masker, kaca mata dan jaket yang menutupi tubuhnya dan mengenakan topi. Aku ragu untuk menyapanya, tapi aku penasaran. Akhirnya aku dekati orang itu.

"Permisi." Ucap ku pada pria itu. Dia menoleh padaku, dan membuka kacamatanya.

"Mas Firman." Ucap ku kaget. Aku melihat di sekitar keningnya terdapat bekas luka seperti ku.

"Rania, kamu kenapa ke sini." Ucapnya asal. Semua orang tahu kali kenapa ke apotek. Aku hanya menunjukkan bungkus obat kepadanya.

Setelah menunggunya membeli obat aku mengajaknya untuk minum di cafe yang ada di dekat apotek itu.

"Maafkan aku Ran."

"Untuk apa mas?" Tanya ku bingung.

"Untuk waktu itu. Aku gak ada niat jahat?" Aku baru ingat saat Naya bilang kami tidak menggunakan baju saat berpelukan.

"O... boleh aku tahu kenapa mas melakukan itu pada ku?"

"Aku panik melihat mu menggigil. Selimut yang tebal tidak bisa menahan tubuh mu yang semakin bergetar. Satu-satu caranya aku harus menyalurkan rasa hangat dari tubuh ku. Tapi aku hanya melepaskan baju mu tidak dengan..." ucapnya terhenti karena tidak enak menyebutkan sesuatu yang sensitif di tempat umum.

"Seharusnya aku yang berterima kasih, karena mas udah nolongin aku. Walau dengan cara yang tidak di inginkan." Ucapku dengan senyum gak enak. Aku malu, karena pasti dia sudah melihat bagian atas tubuhku walau masih tertutup bra.

"Maaf ya mas, karena aku mas juga terkena cacar."

"Gak apa-apa. Biar sama-sama merasakan sakitnya." Ucapnya dengan tawa untuk mengurangi ketegangan kami barusan. Aku pun ikut tertawa. Tidak lama kami pulang. Mas Firman menawarkan diri mengantarku pulang. Namun aku menolak. Karena dia sedang sakit.

***

Vino sudah lama tak menjengukku, itu karena dia harus pulang. Ibunya sedang sakit. Namun hari ini dia sudah kembali lagi, siangnya dia menemui ku.

"Ibu mana Ran." Ucapnya masuk sambil membawa beberapa bungkusan.

"Ibu udah pulang kemaren. Kamu bawa apa?" Ucapku menilik barang bawaanya.

"Ini oleh-oleh dari mama untuk kamu dan Naya." Ucapnya memisahkan barang yang akan di berikan kepadaku.

"Tante lagi sakit sempet-sempetnya beliin oleh-oleh."

"Mama sakitnya cuma 2 hari. Sisanya dia minta temenin aja. Gitu tuh kalau mama lagi sepi. Anaknya di minta pulang."

"Vin, kamu belum cerita sama tante tentang hubungan kita?" Maafkan aku Vino harus bertanya secepat ini. Karena udah 1 tahun kita merahasiakannya dari mereka.

"Belum. Sabar ya nanti aku pasti cerita." Ucapnya kemudian duduk di sofa dan menyalakan Tv.

"Kapan? Udah 1 tahun kita sembunyi-sembunyi. Masa selamanya gini. Gak ada kejelasan." Ucapku mulai menuntut.

"Kita udah sepakat untuk backstreet. Kita tunggu sampai waktu yang tepat Ran baru cerita ke mama." Dia masih sibuk dengan acara tv yang di lihatnya.

"Tapi aku gak nyangka akan selama ini. Umur ku udah gak bisa nunggu lagi Vin. Aku ingin kita segera menikah." Aku meraih remote tv dan mematikannya.

"Kamu dengar gak sih aku ngomong." Ucapku mulai kesal.

"Iya aku dengar. Tapi aku belum siap nenikah. Aku takut untuk berkomitmen." Ucapnya sendu melihat ku.

Mataku sudah berembun, aku sakit mendengarnya. Sedih saat tahu orang yang aku cintai hanya ingin bersembunyi di belakang orangtuanya dan tidak ingin memperjelas hubungan ini.

"Kita bukan anak ABG lagi. Aku gak mau kalau kita hanya jalan di tempat tanpa kepastian. Kalau cuma ingin main-main sebaiknya kita pikirkan lagi hububgan ini. Aku gak bisa Vin." Tatap ku dengan linangan air mata.

Dia mendekati ku dan ingin memelukku. Namun aku menepis pelukannya.

"Bukan ini mau ku Ran. Aku cinta sama kamu. Kamu cinta pertama ku. Aku hanya ingin memantaskan diri untuk menjadi imam mu."

"Tapi aku gak bisa nunggu. Aku hanya ingin kepastian. Kalau kamu masih dengan pikiran mu, maaf aku mau kita putus." Ucap ku kali ini dengan tegas. Terlihat dia menatapku dengan amarah dan terlihat rahangnya mengeras.

"Ok. Kalau itu mau mu. Aku hanya meminta kamu menunggu. Aku gak nyangka cinta mu hanya seujung kuku. Mulai hari ini kita PUTUS." Ucapannya berhasil membuat hatiku terkoyak-koyak. Kini air mata ku luruh semua. Aku terduduk lemas melihat kepergiannya. Kenapa dia tidak mengerti keadaan ku.

Aku masih menangis di sofa, kulihat layar handpone ku menyala. Tanda ada pesan masuk.

'Ran, ibu mu sakit segera pulang.'

Itu pesan dari tetangga ku yang ada di kampung. Aku lngsung mengemasi baju ku dan berangkat ke kampung. Seharian waktu ku tempuh untuk sampai ke kampung ku. Karena aku harus melewati jalur laut. Sesampainya di sana aku mendapati rumah yang di penuhi oleh kekuarga dan melihat ibu terbaring di tempat tidur dengan tubuh ringkihnya. Aku mendekatinya, mencium pipi ibu dan memeluknya.

"Maafkan Rania bu." Ucapku dengan isak. Ibu hanya mengusap kepalaku. Seharusnya di usia ibu sekarang sudah merasakan bahagia dan melihat aku menikah.

Bersambung...

CINTA sang MANTAN ✔ (TAMAT) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang