Rasa Yang Hilang Arah

113 15 0
                                    

Semoga yang kau rapal, tercapai,
Yang kau ungkap, terbalas,
Yang kau harap, terdekap,
Dan yang kau inginkan, tersadarkan.

-Arkan Alvaro

* * *

"Aduh bisa mati gue"‎

Vio mengusap keringat yang mengucur deras di dahinya.

Perempuan itu sedang berlari ke arah gerbang, ia kesiangan dan terjebak macet dijalan yang mengharuskannya lari sampai ke sekolah agar tidak terlambat. Namun dugaannya salah, gerbang sekolah sudah tertutup.

Vio menghampiri Pak Ujang, satpam sekolahnya. "Pak saya boleh masuk?".

"Ehh ada neng Vio, telat ya neng? Bentar bapak buka dulu gerbangnya" jawab Pak Ujang, Pak Ujang memang akrab dengan Vio. Lagi pula setelah Vio masuk ia juga pasti masih akan diberi hukuman oleh Bu Rini, salah satu guru killer disekolahnya.

"Makasih ya Pak" Vio langsung berlari ke dalam sekolah dan menghampiri Bu Rini yang sudah mananti anak-anak yang telat datang. Dan ternyata Vio tidak sendiri, ada seorang laki-laki yang ia tidak tahu siapa karena posisi tubuh yang membelakanginya.

"Maaf Bu, saya telat" Vio membungkuk didepan Bu Rini, perempuan itu mengatur napasnya yang masih ngosngosan.

"Kamu ini bagaimana? Jangan mentang-mentang kamu ini anak pe--". Vio melotot kecil kearah Bu Rini, Bu Rini refleks menutup mulutnya dan mengangguk mengerti.

"Maksud saya anak beasiswa, kamu bisa jadi semena-mena disini. Kalian semua itu sama dimata saya" ucap Bu Rini.

Vio meringis, ia maju sedikit untuk bisa menyamai posisi orang yang juga dihukum sama sepertinya. Vio tersentak kaget saat menyadari siapa orang itu. Dia Refan, ketua Central Dwisaka.

"Yasudah kalian saya hukum membersihkan daerah taman utama sampai jam istirahat, mengerti?" Vio mengangguk, ia melirik Refan yang tak memberi respon apapun.

Setelah pamit Bu Rini pergi untuk kembali mengajar, beliau merupakan guru Matematika. Vio berjalan tepat dibelakang Refan yang sudah terlebih dahulu menuju taman, setelah sampai ia langsung mengambil sapu yang memang sudah tergeletak dan mulai membersihkan dedaunan yang gugur.

"Gue baru tau kalo bosgenknya sekolah bisa telat juga" ucap Vio yang jelas tertuju pada Refan, matanya masih fokus menatap dedaunan.

Refan hanya melirik sekilas tanpa berniat menjawab, lelaki itu meletakkan sapu yang tadi ia pegang dan beranjak mendekati kursi taman.

Melihat Refan yang malah asik bersantai, Vio ikut beranjak dan duduk di samping Refan. Mengapa memandangi lelaki itu dari samping bisa sebahagia ini? Ahh ini benar yang namanya cinta.

"Kenalin nama gue Viona, cukup lo panggil Vio" Vio mengulurkan tangannya yang hanya bersalaman dengan angin yang berhembus, perempuan itu membuang napasnya kasar lalu menarik tangannya lagi.

Hening sejenak, keduanya kembali tenggelam dalam pikiran masing-masing.

"Refan"

"Hmm"

"Kayaknya stok pembendaharaan kata lo cuma sedikit ya?".

"Gue udah terbiasa gini dari kecil".

"Karena apa?".

Refan tidak menanggapi, lelaki itu kembali berfokus pada ponsel digenggamannya. Vio menghela napas, ia maklum. Lagi pula pertanyaannya sudah masuk ke arah topik yang sensitif.

Not MineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang