Sembilan tahun yang lalu
Universitas Indonesia
Edbert Zayyan Waller, mahasiswa semester akhir fakultas hukum kini sedang berjalan lurus tanpa memperdulikan sekitarnya, seperti biasa. Pria itu menyumbat kedua telinganya dengan headset, memberi peringatan secara tidak langsung kepada siapapun untuk tidak mengganggunya.
Edbert baru saja menyelesaikan sesi bimbingan untuk tugas akhirnya dengan sang dosen pembimbing. Ide dan kerangka pikir yang diajukannya sudah disetujui. Itu artinya, Edbert bisa memulai pembuatan skripsi.
Tinggal sekian langkah kaki, Edbert bisa menggapai mobilnya saat seseorang tiba-tiba saja menubruknya dengan keras sampai tubuhnya terhuyung ke belakang. Pria itu kemudian melepas headset di telinganya dan bersiap untuk menegur sang penabrak.
"Aduh, maaf maaf, Kak. Saya lagi buru-buru buat OSPEK, makanya waktu lari saya nggak lihat Kakak. Maaf sekali lagi, permisi, saya sudah hampir terlambat." seorang perempuan yang rambutnya diikat dua dengan pita berwarna merah – warna khas fakultas hukum UI, kini sudah bersiap untuk kembali berlari sesaat setelah mengucapkan permintaan maafnya. Namun, niatnya itu langsung terhenti saat Edbert menahan bahunya.
Edbert melirik sekilas pada papan nama yang dikenakan oleh mahasiswa baru itu - Adena Danica Henzie. Ia kemudian menatap mata manusia di hadapannya dengan datar, "Lain kali hati-hati."
"Iya, Kak. Sekali lagi saya minta maaf." ucap mahasiswa baru itu sambil membungkukkan tubuhnya ke depan. Edbert mengangguk sekilas sebagai balasan dan kali ini, dia membiarkan perempuan itu berlari menuju lapangan – tempat dilaksanakannya OSPEK.
..........
"Adena!" Emma – teman satu grup Adena meneriakkan namanya. Kaki-kaki Adena semakin bergerak cepat menuju barisan grupnya.
"Aduh, gu-gue capek, Em." ucap Adena terputus-putus karena udara di paru-parunya yang menipis. Wanita itu menunduk dengan kedua tangannya yang menempel di bahu Emma.
"Tumben lo telat, Na. Biasanya juga dateng duluan dari pada gue."
"Tadi nganterin adek gue sekolah dulu." balas Adena kemudian disaat napasnya sudah mulai kembali normal. Emma mengangguk-angguk mengerti.
"Lo tahu nggak, tadi gue sempet nabrak kakak tingkat. Gue udah deg-degan, ngira dia bakal ngebentak gue."
"Terus terus ?"
"Untungnya dia cuma nyuruh gue ati-ati lain kali." Adena berkata dengan ekspresi lega di wajahnya. Emma menatap temannya dengan tidak percaya. "Eh sumpah ? Ada ya kakak tingkat yang sebaik itu ?"
"Bukan baik, dia cenderung bodo amat kayaknya. Wajahnya datar banget." ucap Adena sambil mengingat-ngingat memori tadi.
"Cowok apa cewek ?"
"Cowok."
"Hmm, pantes. Coba kalo cewek. Bisa jadi masalah gede." Adena mengangguk-angguk setuju.
"Btw, cakep nggak, Na ?" pertanyaan Emma membuat sebelah alis Adena terangkat. "Apanya yang cakep ?"
"Ish, itu lho, kating yang lo tabrak tadi." balas Emma sebal. Adena membulatkan mulutnya tanda mengerti. Wanita itu nampak terdiam sejenak, berusaha mengingat wajah sang kakak kelas tadi. Beberapa detik kemudian, kepala Adena mengangguk. "Cakep. Idungnya mancung banget, cuy. Terus ya, kalo nggak salah, warna matanya bukan item deh."
Mata Emma membulat terkejut. "Serius ? Ada turunan bulenya, dong."
"Sshhtt, udahan ngerumpinya! Bang Tora dateng tuh." Akbar – sang ketua grup langsung menyiapkan anggotanya ketika sang senior sudah bersiap untuk membuka acara OSPEK mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Set in Stone
RomanceSembilan tahun yang lalu, mereka memulai kisah itu. Singkat memang, namun memorinya begitu membekas. Sekarang, mereka dipertemukan kembali di saat segalanya sudah berubah. Edbert sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Adena di saat persida...