Dua Puluh Tiga

2.7K 282 12
                                    

Adena bersenandung ketika menyirami tanaman kecil yang diberikan oleh Edbert beberapa waktu yang lalu. Seperti biasa, setelah kegiatan menyiramnya selesai, ia akan berdiam memandangi tanaman itu dengan seksama.

"Kira-kira, kapan bungamu mekar ?" pertanyaan yang sama setiap harinya ketika Adena melakukan kegiatan menyiram. Adena lalu tersenyum, merasa geli dengan tingkah lakunya yang tidak masuk akal karena mengharap jawaban dari sebuah tanaman.

Adena lalu menegakkan tubuhnya kembali dan berjalan menuju meja kerjanya untuk memulai membaca berkas-berkas kasus yang tengah ia tangani. Ia meregangkan kedua tangan terlebih dahulu dan meminum kopinya sebelum benar-benar tenggelam dalam pekerjaan.

Aku mau kita ketemu.

Pesan itu masuk sejak beberapa jam yang lalu dan Adena yang memang sedari tadi sibuk baru mengetahuinya. Ia langsung menghela napas panjang sembari menyugar rambutnya, merasa lelah meskipun hanya mendapati sebuah pesan dari Ferry.

Jam berapa ? Dimana ?

Setelah mengetik balasan itu, Adena kembali meletakkan ponselnya di atas meja dan belum berniat berkutat kembali dengan berkas-berkasnya. Wanita itu memutar kursinya ke arah jendela kaca di samping kirinya.

Ternyata, matahari sedang bersinar terik di atas langit biru.

Adena memejamkan kedua mata, berusaha mencari secercah kedamaian yang akhir-akhir ini sulit sekali untuk ia temukan.

Aku ke kantor kamu waktu jam makan siang. Jangan nolak, jadwal aku cuma lowong itu saja.

Adena mendengus. Cih, benar-benar khas Ferry – pemaksa dan tidak suka mengalah. Ia lalu mengetikkan balasannya yang hanya berupa kata ya tanpa embel-embel apapun setelahnya.

=====

Selama menghabiskan makan siangnya, Adena hanya diam. Ia tidak ingin menghilangkan selera makannya karena berdebat terlebih dahulu dengan Ferry. Karena jujur saja, bekerja setengah harian ini sudah sangat menguras otaknya. Adena hanya ingin otak dan tubuhnya tersupply nutrisi terlebih dahulu agar bisa bekerja secara maksimal setelah jam istirahat ini.

"Jadi-"

"Aku habiskan makanan dulu." Adena kembali menolak untuk diajak berdiskusi yang entah akan bertemakan apa. Untungnya Ferry menurut dan kini pria yang sudah menghabiskan makanannya terlebih dahulu itu terdiam sembari menunggui Adena.

Beberapa menit kemudian, piring Adena akhirnya kosong. Ia menyesap minumannya terlebih dahulu sebelum menatap ke depan dan memfokuskan diri sepenuhnya ke arah Ferry. "Mau bicara apa ?"

"Aku dengar, ada seorang laki-laki yang melamar kamu." itu kalimat pembuka obrolan Ferry. Adena hanya diam dan membiarkan Ferry untuk melanjutkan. "Aku minta kejujuran kamu, Adena. Apa selama ini - selama kita berhubungan, kamu bermain dengan laki-laki itu di belakangku ?"

Adena sukses dibuat melongo dengan pertanyaan tak masuk akal dari Ferry. Ia lalu terkekeh. "Mau cari-cari kesalahan aku, Fer ? Aku mau kamu jadikan kambing hitam di hubungan ini ? Begitu ?"

"Siapa sih yang mau jadikan kamu sebagai kambing hitam. Aku cuma tanya, Adena. Kamu tinggal jawab, apakah itu benar atau nggak. Gampang kan ?"

"Ok, aku akan jawab. Jawabannya nggak, aku sama sekali nggak mencurangi hubungan kita dengan laki-laki itu. Sudah ?" Adena menjawabnya setelah mengambil napas panjang guna menghilangkan rasa dongkol bercampur jengkel yang ia rasakan terhadap manusia di depannya.

Kedua mata Ferry memicing, menatap penuh curiga ke arah Adena. "Benarkah ? Terus, kenapa laki-laki itu sampai bisa melamar kamu ? Apa dia tertarik dengan kamu tanpa interaksi apapun di antara kalian ?"

Set in StoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang