Sepuluh

2.8K 294 18
                                    

Satu bulan berlalu begitu saja setelah acara traktiran Edbert yang berakhir dengan peristiwa mendebarkan bagi Adena. Kini, wanita itu sedang liburan semester. Terkutuklah, karena tidak ada kegiatan menyibukkan yang bisa ia lakukan. Adena jadi sering memikirkan seorang pria bernama Edbert itu.

Inget, Na, lo nggak bakal ketemu lagi sama cowok itu.

Adena selalu menyugestikan dirinya dengan kalimat barusan. Dirinya selalu berupaya untuk menyibukkan diri dengan membaca novel atau pun menonton film. Namun tetap saja, namanya orang yang sedang kepincut, pastilah pikirannya akan penuh dengan seseorang yang sedang mengganggu hatinya itu.

Di rumah ?

Detak jantung Adena rasanya berhenti untuk sesaat ketika sebuah pesan dari orang yang sebulanan ini mengganggu pikirannya masuk. Ia langsung membuka pesan itu dan tanpa sok jual mahal ia pun langsung membalasnya secepat kilat.

Di rumah. Kenapa ?

Berbeda dengan tadi, kali ini irama jantung Adena berubah menjadi berkejaran tak karuan. Ia menunggu balasan dari Edbert yang entah kenapa terasa begitu lama.

Gue di depan rumah lo

Bola mata Adena serasa ingin meloncat keluar begitu membaca pesan balasan dari Edbert yang sama sekali tidak pernah ia duga. Adena langsung bangkit dari posisi rebahannya dengan secepat kilat. Ia kini berada di depan cermin untuk melihat penampilannya yang ternyata sungguh berantakan. Tangannya bergerak menyisir rambut panjangnya dengan jari-jari tangan sebelum akhirnya berjalan dengan langkah cepat menuju pintu utama rumah.

Edbert tengah mengetuk-ngetukkan jarinya di setir ketika akhirnya perempuan yang ia tunggu keluar juga. Pria itu mematikan mesin mobil dan keluar untuk menghampiri Adena.

"Hai."

"Hai." Edbert memperhatikan penampilan adik tingkatnya yang semakin terlihat bocah dengan penampilan rumahannya. "Serius, kalo gue nggak kenal lo, gue pikir lo anak baru masuk SMA." ucapnya dengan kedutan samar di bibir karena menahan tawa geli.

Adena langsung berdecak. "Nanti kalo gue berpenampilan kayak cewek dewasa, gue takut lo naksir gue."

Ekspresi di wajah Edbert berubah menjadi cengo dan bertahan untuk beberapa saat sebelum akhirnya dia membalas, "Nggak usah aneh-aneh kalo ngomong. Lo keseringan interaksi sama gue jadi ketularan kepedean ya."

Adena mengibaskan tangannya malas. "Terserah lah. Ini lo ke rumah gue ada acara apa ?" Edbert menepuk keningnya sejenak sebelum berbalik ke mobilnya untuk mengambil sesuatu.

Edbert berdeham sembari mengusap tengkuknya sebelum menyodorkan sesuatu yang diambilnya tadi ke arah Adena. "Gue udah bilang kan, kalo kemungkinan besar nggak bakal bisa dateng ke sidang akhir lo. Jadi, gue ngasih hadiahnya sekarang aja ya."

Adena menatap pria di hadapannya dengan tatapan terkejut bercampur bingung. "Lo nggak perlu ngasih gue hadiah sebenernya."

"Nggakpapa. Anggap aja ini hadiah buat penyemangat lo biar cepet selesai kuliahnya."

"Lo...udah yakin ya mau lanjut S2 di luar negeri ?" tanya Adena yang kini sudah memeluk hadiah dari Edbert. Kepala Edbert mengangguk. "Gue udah dapet info kalo gue diterima. Jadi, sebentar lagi gue harus cabut dari Indo."

Adena mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Ia lalu menurunkan pandangannya karena tidak tahu harus berkata apa. Mata Adena kemudian berhenti bergerak saat menangkap sebuah luka di punggung tangan Edbert.

"Tangan lo kenapa ?" tanyanya sembari mengambil beberapa langkah mendekati Edbert. Edbert lalu mengangkat tangannya. "Oh, tadi gue sempet main skate bareng anak-anak. Dan yah, gue jatuh."

Set in StoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang