Delapan

2.8K 273 9
                                    

Semenjak kejadian topi di lapangan parkir, sudah satu bulan terlewat. Tak terasa, skripsi Edbert sudah selesai. Skripsinya sudah disetujui oleh sang dosen pembimbing. Dan sekarang dia tengah sibuk mendaftarkan diri untuk sidang akhirnya.

Segala tetek bengek pendaftaran itu akhirnya selesai pukul tiga siang. Edbert yang merasa lelah langsung melangkahkan kakinya menuju kantin. Ia ingin mengisi perutnya yang keroncongan serta membasahi tenggorokannya yang kini kering kerontang.

Edbert langsung memesan makanan dan minuman untuk dirinya sebelum mendudukkan diri di salah satu kursi yang kosong. Kantin kampus di jam segini nampak sepi. Dan suasana ini membuat rasa nyaman diam-diam melingkupi diri seorang Edbert. Karena Edbert merupakan tipe orang yang tidak terlalu menyukai keramaian.

"Edbert ?" kepala sang pemilik nama mendongak. Ada seulas senyum tipis saat matanya menangkap kehadiran Adena di depannya. "Hai." sapanya singkat. Adena tersenyum kecil lalu tanpa ragu menduduki kursi di sebelah pria itu. "Jarang banget lihat lo lagi di kampus. Kemana aja ?"

Edbert menaikkan sebelah alis. "Kenapa ? Kangen ya sama gue ?"

Adena langsung mendengus dan mulutnya otomatis memberengut. "Lama nggak ketemu ternyata sikap nyebelin lo sama aja." suara kekehan Edbert terdengar. "Gue lagi sibuk ngumpulin dan ngolah data buat skripsi."

Mulut Adena membulat membentuk huruf O. Ia kemudian menyibukkan diri dengan mencari sesuatu di dalam tas ranselnya.

"Si Emma sakit lagi ?" tanya Edbert membuka obrolan. Adena tidak menjawab pertanyaan itu sampai mendapatkan benda yang ia cari. Kepala wanita menoleh menghadap Edbert, "Emma udah balik. Gue cuma ambil buku yang ketinggalan."

Edbert berdecak. "Emang dasar ceroboh. Buku aja sampe lupa."

Mulut Adena memberengut. "Ya kan gue cuma manusia biasa, bisa lupa."

Obrolan keduanya terhenti sesaat karena pesanan Edbert datang. Pria itu kemudian langsung menyantap makanannya dengan lahap seolah lupa dengan seseorang yang berada di sampingnya.

"Lo jam segini baru makan ?" tanya Adena setelah memperhatikan Edbert beberapa saat. Masih dengan mulutnya yang sibuk mengunyah, pria itu mengangguk. "Gue sibuk ngurus daftar sidang."

Kedua mata Adena membulat saat menerima informasi itu. "Lo udah mau sidang ?" kali ini Edbert menelan makanannya terlebih dahulu. "Iya. Kenapa ? Takut kangen kalo gue udah lulus ?"

Adena mendengus. "Tingkat nyebelin lo kok kayaknya nambah ya, Ed ? Mau gue kasih obat nggak, buat nuruninnya ?"

Edbert terkekeh kemudian ia menyesap es teh manisnya. "Senin depan jam 10. Dateng aja kalo lagi lowong." ucapnya santai. Pandangan Adena langsung berubah heran. "Lo nyuruh gue dateng ? Nggak salah ?"

"Ya kalo lo nggak mau ya udah. Tinggal nggak usah dateng, gampang kan ?" balas Edbert cuek. Adena menggeram kesal saat tidak mendapatkan jawaban yang ia inginkan dari mulut pria di sebelahnya. "Gue takut aja lo cuma iseng. Terus waktu entar gue dateng, lo nyuekin gue."

Pandangan Edbert berubah serius saat menatap kedua manik coklat gelap di depannya. "Gue nggak sejahat itu kali, Na. Lagian, gue nggak terlalu punya banyak temen. Yah, lumayan lah kalo lo dateng, buat rame-rame."

Wajah Adena kini dibanjiri dengan ekspresi ketidakpercayaan. "Serius ? Lo nyuruh gue dateng buat rame-rame doang ?" kepala Edbert pun mengangguk dengan ekpresi datarnya. Membuat Adena mengumpati pria rupawan itu di dalam hati.

"Susah nggak sih bikin skripsi, Ed ?" celutuk Adena lagi ketika beberapa saat telah terlewat tanpa obrolan. Kini, giliran Edbert yang memasang wajah tidak percayanya. "Seriusan lo mempertanyakan hal itu, Na ?"

Set in StoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang