Tujuh

2.6K 267 8
                                    

Adena sedang sibuk mengerjakan tugasnya di perpustakaan saat Edbert datang dan menyapa wanita itu. "Hai." Adena mendongak lalu ia menampilkan seulas senyumnya. "Hai."

"Emma masih sakit ?" tanya Edbert seraya menduduki kursi di sebelah Adena. Ekspresi Adena berubah murung. "Emma kena demam berdarah ternyata. Gue bakal sendirian lebih lama dari pada yang gue duga."

Edbert menatap Adena sejenak sebelum seringaian kecilnya muncul. "Kalo gitu, sekarang gue jadi penyelamat lo dong ya."

"Kok ?"

"Kan gara-gara ada gue, lo jadi nggak sendirian lagi." detik itu juga, Adena langsung mendengus. "Edbert si menyebalkan is come back."

Edbert terkekeh geli sebelum akhirnya terdiam dan memfokuskan dirinya pada skripsi yang dibuatnya. Keduanya sama-sama tidak membuat suara sampai akhirnya Edbert teralihkan dengan sebuah pesan dari Dheno. Senyum senang pria itu langsung terbit, membuatnya segera memberesi barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas.

"Adena, lo mau tetep di sini atau ikut gue ?" tawar Edbert yang membuat Adena mengernyit. "Ikut lo ke mana ? Jangan bilang lo niat buat ngajak gue tanding lagi ?"

Ekpresi di wajah Edbert berubah jengah. "Nggak lah. Gue nggak mau kena ngambekan lo lagi kalo kalah."

"Gue nggak ngambek ya." desis Adena pelan yang masih teringat dengan lokasi mereka berada – perpustakaan. Edbert memberikan senyum mengejeknya. "Jangan suka bohong, Adena. Nggak baik. Udah ayo, ikut gue aja."

Masih dengan wajah kesalnya, Adena menuruti Edbert. Wanita itu memberesi barang-barangnya dan mengembalikan buku yang ia pinjam sebelum mengikuti langkah Edbert.

"Lo ngajak gue kemana sih ?!" sungut Adena saat Edbert tak kunjung juga memberikan jawaban. Edbert menoleh sekilas kepada Adena lalu berkata, "Ke lapangan."

"Hah ? Ngapain ?" tanya Adena sangsi. Kali ini Edbert tidak menyahuti wanita itu. Ia hanya terus berjalan sampai ke tempat yang disebutkannya tadi.

"Woi, Ed!" Edbert menyeringai dan tanpa sadar semakin mempercepat langkahnya saat sapaan dari temannya terdengar. Pria itu lalu bertos ria dengan teman-teman skatenya. Untuk sejenak, dia lupa jika dirinya tadi mengajak seseorang untuk ikut bersamanya.

"Lo ngajak pacar, Ed ?" Dheno tiba-tiba saja mendekati temannya dan berbisik penasaran. Alis Edbert naik sebelah. "Hah ? Pacar ? Ngac-" Edbert tidak bisa menyelesaikan ucapannya karena otaknya langsung teringat jika dirinya mengajak Adena. Pria itu langsung menengok ke belakang dan menemukan Adena yang terlihat berdiri canggung.

"Bukan pacar gue, bego. Kasihan dia lagi nggak ada temen, makanya gue ajak ke sini." sanggah Edbert kemudian. Dheno langsung menampilkan senyum penuh arti miliknya sambil menoel bahu Edbert. "Ternyata, saran gue lo laksanain."

"Saran yang mana, woi ?"

"Saran ngebuat kisah cinta lagi." jawab Dheno dengan kedua alisnya yang naik turun jenaka. Edbert mendengus dan memilih untuk tidak menyahuti temannya lagi. Ia lalu berjalan menghampiri Adena yang masih belum bergerak.

"Lo duduk aja di pinggir lapangan. Atau lo mau belajar skate ?" tawar Edbert yang membuat kedua mata Adena melebar. "Lo bercanda kan ?"

Edbert menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Well, sejujurnya gue cuma basa-basi. Tapi kalo lo beneran mau, nggak masalah." wajah Adena langsung berubah kesal. "Kalo cuma basa-basi doang, mending nggak usah." setelah mengatakannya, Adena langsung berjalan cepat menuju bangku yang berada di pinggir lapangan.

"Pacar baru jangan dibikin sebel, dong. Nanti kalo langsung minta putus gimana ?" goda Dheno yang entah sejak kapan sudah berada di samping Edbert. Edbert langsung menabok lengan temannya kesal. "Dia bukan pacar gue, bego! Udah ah, gue mau main dulu."

Set in StoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang