Adena mengusap wajah dengan sebelah tangan, merasa lelah karena semenjak kekalahan persidangan kemarin, timnya bekerja dengan lebih keras. Ia meregangkan kedua tangan sebelum memijat leher bagian belakangnya yang terasa begitu kencang.
Wanita itu kemudian memutuskan bangkit untuk membuat secangkir kopi di dapur kantor yang berada di pojok lantai. Adena sudah hendak menekan handle pintu ketika pintunya terlebih dahulu terbuka dari luar.
"Surprise." wajah riang Ferry kini menjadi pemandangan mata Adena yang sudah terasa begitu lelah. "Kamu ke sini ?"
Ferry tidak menjawab dan malah memutar tubuh Adena lalu mendorong wanita itu untuk duduk di sofa yang ada di ruangan. "Aku dengar dari Mama kamu kalau udah seminggu ini kamu lembur terus." Ferry kemudian menaruh minuman dan makanan yang ia beli untuk Adena di atas meja. "Kamu pasti belum makan kan ?" kepala Adena menggeleng kaku dan itu membuat Ferry berdecak. "Ini sudah jam delapan malam, Na. Kamu bisa kena maag nanti."
Adena meringis mendengar rentetan kalimat Ferry barusan, karena memang dirinya sudah terkena penyakit lambung itu semenjak dirinya masuk ke dalam tim Ace Gunadharma. Tapi lelaki yang kini menjadi kekasihnya itu tidak tahu.
"Kamu nggak ada operasi ?" tanya Adena saat memperhatikan Ferry yang tengah menata makanan untuknya. Ferry mendongak kemudian menggeleng. "Malam ini aku bebas. Aku juga udah pesan buat nggak menerima panggilan darurat karena pengen istirahat setelah semingguan kemarin banyak sekali operasi."
Adena mencebik. "Kalo gitu, bukannya kita sama aja, Fer ? Sama-sama terlalu sibuk semingguan ini." Ferry terdiam sejenak sebelum akhirnya terkekeh. "Kamu benar. Kita berdua sama-sama sibuk. Tapi, seenggaknya kalo sudah serumah nanti, kita bisa ketemu di pagi dan malam harinya."
Adena menelan ludah ketika Ferry mengucapkan kata serumah. Bibirnya menyunggingkan senyuman miris. Apakah iya, dirinya akan berakhir dengan pria yang kini duduk di sampingnya ini ?
Memangnya siapa lagi, Adena ? Kamu mengharapkan siapa yang menjadi suami kamu ?
Benar. Tidak ada laki-laki lain yang bisa ia jadikan sebagai calon pendamping. Hanya Ferry sekarang. Adena harap tidak akan ada lelaki lain yang hinggap di kehidupannya dan membuat segala sesuatu yang sudah terancang dengan apik menjadi runyam.
"Makan, Na. Malah bengong." ucapan Ferry membuat lamunan Adena buyar. Wanita itu menampilkan senyum kecilnya sebelum meraih sendok untuk memulai makannya.
=====
Hari persidangan akhir...
Edbert berada di dalam kamar mandi pengadilan untuk membasuh wajahnya dengan air. Ia lalu mengangkat kepala dan melihat bayangan wajahnya di cermin. Edbert meringis saat menemukan lingkaran hitam di bawah matanya. Belum lagi, wajahnya kini terlihat kusam dan tak bercahaya karena pola hidupnya beberapa waktu ini benar-benar tidak sehat. Kurang tidur, terlambat makan dan terlalu banyak mengonsumsi kafein.
Edbert membasuh wajahnya sekali lagi sebelum keluar dari kamar mandi dan kembali ke ruang persidangan. Tubuh Edbert langsung berubah kaku tatkala melihat Adena yang baru saja keluar dari kamar mandi wanita di seberang.
Mereka berdua terdiam untuk beberapa saat sampai akhirnya Adena berdeham dan berniat untuk melarikan diri. Tapi tentu saja Edbert tidak akan melepaskan Adena semudah itu. Ia mencekal tangan Adena dan menarik tubuh wanita itu sampai menempel dengannya.
"Lepas, Ed. Kalau ada yang lihat gimana ?!" Adena mendesis dengan wajah keras menahan amarah. Bertolak belakang dengan Adena, raut wajah Edbert malah terlihat begitu santai seolah posisi mereka sekarang sama sekali bukan kesalahan. "Kamu kelihatan...kacau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Set in Stone
Lãng mạnSembilan tahun yang lalu, mereka memulai kisah itu. Singkat memang, namun memorinya begitu membekas. Sekarang, mereka dipertemukan kembali di saat segalanya sudah berubah. Edbert sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Adena di saat persida...