Tiga

3.7K 318 4
                                    

Kejadian menegangkan di kantin kampus sudah berlalu selama dua minggu lamanya. Setelah itu, tidak ada pertemuan tak sengaja sama sekali diantara Adena dan Edbert. Takdir seolah sedang menjauhkan kedua insan yang sering bertemu dengan cara tidak elegan itu.

"Na, Bang Tora nungguin lo lagi tuh." Emma sengaja berbisik agar orang yang baru saja ia sebut namanya tidak mendengar. Kontan Adena langsung mendesah lelah saat mengetahui informasi itu. Pasalnya, kakak tingkat yang dulu bertugas mengOSPEK satu angkatannya itu kini sedang getol mendekatinya. Padahal Adena sama sekali tidak memiliki ketertarikan kepada pria yang dua tahun lebih tua darinya itu. Bukan apa-apa, dia hanya tidak suka saja dengan tingkah laku Tora yang kadang suka semena-mena dengan adik tingkatnya.

"Pintu perpus ada berapa sih, Em ? Gue pengen banget kabur dari Bang Tora." balas Adena yang ikut berbisik. Keduanya kini saling melempar tatapan putus asa karena tidak tahu lagi harus berbuat apa.

"Kayaknya satu-satunya jalan buat ngehindarin Bang Tora itu adalah lo punya pacar deh, Na. Yang lebih senior dari dia tapi." saran yang keluar dari mulut Emma membuat Adena mendelikkan mata sebal. "Yang bener, dong, kalo ngasih saran. Dapet pacar seangkatan aja susahnya minta ampun. Lo malah nyuruh gue buat cari pacar kakak tingkat minimal tiga tahun di atas kita."

Dengan mulut yang memberengut Emma membalas, "Ya habis, lo tahu sendiri kan, kelakuannya Bang Tora kayak gimana. Gue takutnya dia nggak bakal jera kalo lo dapet pacar yang tingkatnya di bawah dia."

Adena pun terdiam. Wanita itu membenarkan perkataan sahabatnya barusan dalam hati.

"Ish, lo sih, dibilang waktu itu suruh mepet si Edbert cakep nggak mau." Emma mengeluarkan rasa kesalnya. Sekali lagi, Adena memberikan tatapan membunuh kepada wanita di sampingnya. "Lo yang bener, dong, Em. Masak gue nih, mahasiswi bau kencur di sini mau ngejar si Edbert. Hellooow, yang ada gue bakal dihajar abis sama kating cewek yang udah duluan naruh hati ke doi."

"Takdir itu nggak ada yang tahu, Na. Sapa tahu aja dari sekian banyak cewek yang berhasil itu elo. Percaya diri, dong."

"Heh, gimana bisa gue percaya diri kalo cowok yang gue kejar itu sekelas Edbert, hah ?! Udah ah, kesel gue lama-lama ngedengerin saran dari lo." Adena memasukkan alat tulis serta buku catatannya ke dalam tas.

"Wei, lo serius mau ngelewatin Bang Tora ?" Emma buru-buru menyusul sahabatnya yang sudah terlebih dahulu berjalan cepat. Tanpa menolehkan kepalanya Adena menjawab, "Ya mau gimana lagi, gue mau pulang, Em. Nggak ada cara lain kan selain lewat pintu itu ?"

"Adena!" Emma belum sempat membalas ucapan sahabatnya karena pria yang sedari tadi mereka coba hindari sudah terlebih dahulu menghampiri Adena. Mereka berdua kini menampilkan senyum kakunya kepada Tora.

"Urusan kalian di perpus udah selesai ?" tanya Tora kepada dua adik tingkatnya. Adena dan Emma mengangguk kompak, membuat Tora tersenyum puas. "Bagus. Kalo gitu, gue pinjem Adena bentar ya, Em. Mau gue ajak makan siang."

Adena langsung menatap sahabatnya dengan tatapan memohon agar wanita itu mencegah kakak tingkat mereka untuk membawanya. Mereka berdua kini sama-sama melempar pandangan putus asa bercampur bingung.

"Boleh kan, Em ?" Tora bertanya sekali lagi dengan nada yang terdengar sedikit mengancam kali ini.

"Tapi saya mau pulang, Bang. Udah diwanti-wanti sama Mama buat pulang cepet. Disuruh nemenin belanja." Adena lah yang akhirnya menolak ajakan Tora. Tora kini berganti menatap adik tingkat yang sedang ia incar itu. "Bentar aja ya, Na. Gue mau ngobrol bentar sama lo. Please ?"

"Nggak bisa, Bang. Soalnya belanjaannya itu buat keperluan nanti sore. Makanya kudu cepet dimasak." Adena benar-benar bertekad menolak ajakan kakak tingkat gilanya ini. Wajah Tora berubah masam pun dengan kedua matanya yang kini menatap Adena dengan pandangan curiga. "Beneran lho ya ? Kalo sampe gue tahu ini cuma alesan lo nolak ajakan gue, nanti gue bakal-"

Set in StoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang