Dua

4.6K 339 3
                                    

Adena sedang sibuk mencari bahan untuk pembuatan makalahnya. Ia bahkan datang ke kampus, mendekam di perpustakaan meskipun hari ini tidak ada mata kuliah yang harus dihadiri.

Ia sama sekali tidak menyangka akan mendapatkan tugas seperti ini di awal kuliahnya. Berkali-kali Adena mendesah bosan saat membaca beberapa buku yang memuat materi yang diperlukan untuk tugas tersebut.

Sudah pukul satu siang saat Adena akhirnya selesai mendapatkan materi yang diperlukan. Ia kemudian mematikan laptop serta merapikan beberapa buku yang diambilnya dari rak. Setelah memasukkan barang-barangnya ke dalam ransel, barulah Adena bangkit untuk mengembalikan buku-buku tadi.

Adena mengambil empat buah buku dan kini sudah tiga buku yang ia kembalikan. Tinggal satu buah lagi dan dia harus mencapai sebuah rak yang berada di ujung perpustakaan. Wanita itu mendesah saat teringat bagaimana dia bisa meraih buku terakhir ini. Adena harus melompat-lompat beberapa kali sampai akhirnya bisa mengambil buku itu.

Adena menghembuskan napas beberapa kali sebelum melompat dengan tangan kanannya yang sedang memegang buku. "Kenapa sih, gue nggak bisa tinggi kayak Gigi Hadid ?" gerutunya kemudian.

Kedua kakinya sudah tertekuk kembali, bersiap untuk melompat ketika buku yang hendak dikembalikannya tiba-tiba direbut oleh seseorang dari tangannya. Adena langsung menoleh ke samping, bersiap untuk melontarkan protesannya. Namun, kata-kata yang sudah siap tadi tidak bisa keluar saat kedua mata Adena mengenali sesosok pria tampan di sampingnya.

Adena masih saja tidak bisa bersuara meskipun Edbert kini sudah selesai menempatkan buku yang dipinjam Adena kembali ke tempatnya.

"Tidak mau mengucapkan sesuatu ?"

Adena tergagap. Ia kemudian menelan ludah, membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba saja mengering. "Terima kasih, Kak."

Edbert mengangguk sekilas sebelum membalikkan tubuhnya hendak meninggalkan Adena. Pria itu kemudian mengulum senyum geli saat mengingat kata-kata Adena mengenai Gigi Hadid.

Astaga, tentu saja wanita Asia seperti dia tidak akan bisa memiliki tinggi badan seperti supermodel itu.

Ada-ada aja, junior gue satu itu.

..........

"Edbert!" teriakan keras milik Dheno membuat semua orang yang berada disekitarnya menengok. Dan tentu saja, sang pemilik nama juga turut memusatkan perhatiannya kepada pria itu.

Tanpa memperdulikan orang-orang, Dheno berlari kecil menghampiri temannya.

"Suara lo, Dhen, makin nggak kekontrol." protes Edbert karena jengah dengan orang disekitar mereka yang kini masih saja memperhatikan. "Lihat noh, orang-orang masih betah ngelihatin kita."

Dheno malah meringis lebar tak berdosa. "Yee, kalo itu gara-gara wajah lo, man."

"Lah yang teriak keras kan tadi elo, kenapa jadi gue yang salah ?" sewot Edbert. Dheno langsung menepuk punggung temannya lalu menunjuk wajah Edbert yang sedang menatapnya bingung. "Wajah lo itu di atas rata-rata, bro. Pasti ciwi-ciwi bakal nyesel kalo nggak ngelihatin lo lama-lama."

Kerutan di kening Edbert semakin mendalam. "Dhen, lo kagak pindah haluan kan ? Tumben-tumbenan lo mau ngaku kalo gue ganteng."

Dheno langsung bergidik jijik. "Woii, gini-gini gue masih normal! Udah lah, gue tarik ucapan gue barusan. Yok, ikut gue." tangan kiri Dheno kemudian bergerak merangkul Edbert.

"Mau kemana woi ?!"

Dheno menampilkan seringaian misteriusnya lalu berkata, "Kangen nggak sama anak-anak skate ?"

Set in StoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang