Dua Puluh Enam

3K 300 9
                                    

Satu bulan lamanya Edbert berada di Surabaya untuk menyelesaikan segala permasalahan legal yang terjadi. Pria itu kini sudah menginjakkan kaki di bandara Soekarno-Hatta dengan senyum merekah karena tidak sabar untuk menemui sang pujaan hati yang tidak ia beri kabar akan kepulangannya hari ini. Sengaja memang untuk mengejutkan wanita yang pasti kini sedang sibuk bekerja itu.

Edbert melambaikan tangan kepada Karina dan kedua anak kembarnya yang kini sudah berdiri di pintu kedatangan menunggu kehadirannya. Pria itu semakin melebarkan langkahnya untuk mencapai sang saudara kembar serta dua keponakannya.

"Ooom." Kalan dan Klean serempak menyerbu Edbert membuat pria itu terkekeh lalu melepaskan pegangannya pada koper untuk berjongkok dan memeluk keduanya dengan sayang. "Om kangen kalian." setelah mengatakan itu, Edbert memberikan kecupan singkat di kedua pipi keponakannya.

Setelah berinteraksi beberapa menit akhirnya sopir keluarga mereka sampai di pick up zone. Mereka lalu masuk ke dalam mobil sembari tetap mempertahankan obrolan ringan.

"Apa semuanya sudah selesai ?" tanya Karina kepada Edbert setelah beberapa menit mobil melaju. Pandangan Edbert yang terfokus kepada keponakannya langsung beralih kepada Karina. Pria itu mengangguk dengan sebuah senyuman yang menyertai. "Sudah. Aku juga sudah mengganti semua personil yang tidak kompeten."

"Kamu bisa istirahat setelah ini, minta cuti kepada Bara." ucapan Karina dibalas dengan helaan napas Panjang Edbert. Pria itu kemudian menyandarkan kepalanya pada kursi untuk berpikir. "Hm, lebih baik sekalian saja nanti."

Kening Karina mengerut tanda berpikir. "Sekalian dengan apa ?"

Edbert menoleh ke arah saudara kembarnya dengan senyum penuh misteri. "Pernikahanku mungkin."

=====

Adena nampak serius dengan sebuah berkas di tangan kiri dan pensil di tangan kanan. Ia membaca dengan seksama berkas kasus yang sudah semingguan ini diterimanya.

Beberapa saat hanya terpaku, akhirnya Adena menghela napas panjang dan meletakkan berkas serta pensil yang dipegangnya. Wanita itu menyugar rambutnya lelah sembari memutar kursinya menghadap jendela. Tangan kanannya lalu memanjang untuk meraih ponsel yang berada di atas meja. Untuk yang kedua kali, Adena menghela napas karena tidak menemukan sebuah pesan dari seseorang.

"Awas aja kalo gue harus nunggu orang ngilang sembilan tahun lagi kayak dulu."

Tok tok tok

Adena memutar kembali kursinya ke arah meja dan mempersilahkan sang pengetuk pintu untuk masuk kedalam. Wanita itu lalu dibuat terkejut dengan kedatangan seseorang yang baru saja ia pikirkan.

Edbert masuk dengan senyum kecilnya yang kini terlihat begitu menawan. Pria itu berjalan perlahan menghampiri Adena yang kini tengah menatapnya tajam.

"Hai."

Adena mendengus. "Aku pikir, aku harus nunggu bertahun-tahun lagi untuk ketemu sama kamu." ucapnya sembari mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kalimat itu membuat Edbert terkekeh lalu memposisikan dirinya di samping kursi Adena. Ia memutar kursi Adena dan membuat wanita itu kini menghadap padanya.

Edbert meletakkan kedua tangannya di lengan kursi dan menarik kursi Adena mendekat. Ia lalu membungkuk dan mencari kedua manik Adena. "Ada yang ngambek ternyata."

"Maaf. Aku cuma ingin fokus menyelesaikan masalah agar cepat selesai dan pulang."

"Aku nggak minta buat tukar pesan setiap saat, Ed. Aku juga nggak minta untuk telpon-telponan. Aku cuma minta, kamu kasih kabar. Paling nggak, kirim pesan kalo kamu masih hidup gitu." rentetan kalimat dari Adena memunculkan sebuah senyum geli di bibir Edbert. Dengan gemas Edbert mendaratkan sebuah kecupan ringan di bibir wanita itu dan membuatnya mendelik. "Apa-apaan sih, Ed ?!"

Set in StoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang