Tiga Belas

2.7K 270 11
                                    

Adena menghela napas kembali entah untuk yang keberapa kalinya. Hal itu membuat Emma yang tengah menemani sahabatnya makan siang merasa kesal. "Seriusan, lo kenapa sih, Na ? Ngehela napas mulu."

Adena menatap Emma sekilas sebelum menunduk dan memainkan sedotan di gelasnya. "Galau gue, Em."

"Galau kenapa lagi ? Ferry ngapain lo ?" Emma memberikan pandangan menelisiknya ke arah Adena. Kepala Adena mendongak kemudian menggeleng. "Bukan Ferry."

"Yaelah, Na. Siapa lagi coba cowok di sekitaran lo ? Cuma Ferry doang." Emma membalas dengan sangsi. Adena mendengus. "Lo pikir, gue nggak selaku itu apa ? Sampe-sampe lo mikir cuma ada cowok bernama Ferry di kehidupan percintaan gue."

"Ya memang begitu kan kenyataannya ?" sahut Emma cuek.

"Lo lupa kalo masih ada satu lagi cowok di kehidupan gue, Em ?"

"Siapa sih ? Setelah sekian purna ya baru ada Ferry. Setelah si kakak tingkat tampan kita yang bernama Ed-" mata Emma mendelik, merasa terkejut dengan praduganya yang melintas begitu saja di otaknya. "Jangan bilang, Edbert dateng ?"

Adena menghela napas berat sebelum akhirnya mengangguk. "Lo tahu, dia itu jadi lawan gue di persidangan minggu depan."

Emma berdecak sembari menggelengkan kepalanya tak percaya, merasa takjub dengan permainan sang takdir kepada sahabatnya ini. "Gila sih, jodoh emang nggak kemana."

"Jodoh jodoh, mbahmu! Lo lupa sekarang ada Ferry di kehidupan gue ?" Emma menggerakkan tangannya malas. "Gue yakin, cepat atau lambat Ferry pasti bakal tersingkir dari kehidupan lo. Gue dukung Edbert seratus persen."

Adena menatap sahabatnya dengan sengit. "Kenapa sih, lo kayaknya nggak suka banget gue sama Ferry ?" Emma memanjangkan tangannya untuk menyentuh pundak Adena. "Na, denger gue. Gue sebagai sahabat nih, pengen banget lihat lo bahagia sama seseorang yang bener-bener lo cintai. Dan menurut gue, Ferry sama sekali nggak masuk dalam kategori itu."

"Gimana bisa lo nyimpulin kayak begitu ?"

"Ya memangnya, Ferry bisa bikin lo blingsatan kayak Edbert ?" telak, Emma menang telak di perdebatan ini karena Adena sama sekali tidak bisa menimpalinya dengan sepatah kata pun.

"Lihat, baru ketemu aja Edbert udah bisa bikin lo galau. Kalo Ferry, lo sudah berhubungan selama enam bulan, Na, sama dia. Tapi, gue nggak pernah tuh denger lo yang curhat tentang dia. Hubungan lo sama Ferry itu bener-bener cuma kayak formalitas aja." bukannya membaik, perasaan Adena malah semakin resah akibat ucapan sahabatnya barusan.

Sial, Emma benar. Baru dua kali bertemu saja, Edbert sudah berhasil membuat dunianya jungkir balik. Adena jadi takut, pertemuan selanjutnya dengan pria itu, apa yang akan terjadi ?

..........

Edbert menyugar rambutnya dengan kasar. Lelah bercampur frustasi membuat pria itu tidak bisa tidur dengan tenang. Semenjak pertemuannya dengan Adena, Edbert jadi tidak bisa menaruh fokus sepenuhnya pada permasalahan perebutan tanah.

Padahal, tinggal dua hari lagi persidangan pertama dilaksanakan. Tetapi, Edbert baru menyelesaikan separuh siasat untuk melawan pihak Bratawijaya.

Sial, kenapa dirinya tidak bisa berkonsentrasi seperti ini ?!

Edbert memutuskan untuk bangkit dan pulang ke rumah. Lebih baik dia beristirahat saja dan mencoba untuk menetralkan pikiran serta perasaannya yang sedang campur aduk.

"Tumben sudah pulang." Rosa menyambut kedatangan putra semata wayangnya dengan pandangan heran. Edbert terkekeh kecil lalu mendekati ibunya dan memberikan wanita itu kecupan singkat di pelipisnya. "Edbert kangen bantuin Mama masak."

Set in StoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang