Sembilan

2.5K 273 10
                                    

"Lo kenapa sih dari tadi kelihatan resah gitu ?" Emma akhirnya mengungkapkan rasa penasarannya terhadap gelagat sahabatnya yang terlihat aneh sepanjang jam mata kuliah. Adena menoleh ke samping dan terdiam sebentar menatap Emma sebelum mendesah lagi entah untuk yang keberapa kalinya.

"Habis ini gue ditraktir makan sama Edbert." Adena mengatakan kalimat itu dengan cepat dan membuat Emma perlu berpikir beberapa saat untuk mencerna ucapan temannya barusan. "Apa ? Kok bisa ? Dalam rangka apa ?"

Adena menghela napas panjang lalu menceritakan kejadian kemarin dimana dirinya yang datang di sidang akhir Edbert. Emma langsung memasang wajah menyesalnya. "Harusnya kemarin gue nemenin lo, Na. Biar gue juga ditraktir sama Abang ganteng."

Adena berdecak. "Terserah lo lah, mau mikir apa."

"Na, lama-lama nih, gue ngira kalian ada sesuatunya."

"Sesuatu apaan lagi sih ?" balas Adena gregetan. Emma memasang wajah gelinya. "Semoga beneran jadi sama si Edbert, Na. Paling nggak salah satu dari kita akhirnya bisa ngegaet kakak tingkat caem."

Adena mendengus sambil melayangkan buku catatannya ke lengan Emma. "Pikiran lo aneh-aneh."

"Lah aneh-aneh gimana ? Justru pikirian gue ini pikiran yang optimis." balas Emma yang kini tengah mengelus sayang lengannya yang baru saja kena tabokan buku catatan. Adena kembali menghela napasnya. Sedangkan Emma, wanita itu malah memperhatikan penampilan sahabatnya dengan ekspresi tidak percaya. "Astaga, Na! Jangan bilang lo mau make pakaian begini ?"

Adena langsung memperhatikan pakaian yang ia kenakan – celana jeans dan kaos putih berlengan panjang. "Apanya yang salah dari pakaian gue ?"

 "Apanya yang salah dari pakaian gue ?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Emma menepuk jidatnya. "Nih ya, lo itu mau jalan sama kakak tingkat famous, bukannya sama si kopi tora bika itu. Please lah, cantikan dikit biar Edbert ngelirik lo beneran." detik selanjutnya Adena mencebik keras. "Lo nggak usah terlalu berkhayal deh, Em. Gue jadi secantik apa pun nih, Edbert nggak bakal ngelirik gue. Lagian, entar dia bisa kepedean kalo gue dandan yang aneh-aneh. Dikiranya gue naksir dia lagi."

"Ya memang iya kan ?"

"Iya apaan dah ?"

"Iya kan lo naksir Edbert ?" blush, tanpa bisa dicegah, rona merah mulai menjalar di wajah Adena. "Nggak ya! Nggak usah berspekulasi yang aneh-aneh deh, Em."

Sinar geli muncul di mata Emma. "Halah, bilang nggak tapi wajahnya merah."

"Tau ah!"

..........

Edbert memandang Adena yang tengah berjalan ke arahnya dengan wajah geli. Pria itu sama sekali tidak menyangka jika wanita itu adalah seorang mahasiswa bukannya anak SMP.

"Lo kayak bocah." bukannya kata sapaan atau basa-basi, Edbert malah mengatakan itu ketika Adena akhirnya sampai di hadapannya. Kalimat itu mengundang tatapan tajam dari Adena. "Kalo gue kayak bocah, berarti hari ini lo jadi om gue."

Set in StoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang