Delapan Belas

2.4K 291 29
                                    

Selepas percecokan kecil di antara Edbert dan dua anggota tim Ace Gunadharma, pria itu membawa Adena ke kafe pertama yang ia lihat di pinggir jalan.

"Are you ok ?" Edbert akhirnya membuka suara ketika mereka sudah duduk berhadapan. Adena menghela napas panjang. "Aku memang nggak terlalu akrab sama mereka berdua. Tapi aku nggak nyangka kalo mereka beranggapan seperti itu."

Edbert menautkan jari-jarinya di atas meja. "Adena, orang-orang memang seperti itu bukan ? Suka mencari alasan untuk pembenaran mereka sendiri."

"Pasti Pak Budi akan membela mereka. Lalu, aku harus gimana ?" Adena mulai resah. Tangannya kini sudah mencengkram gelas minumannya. Edbert mengulurkan tangannya lalu melingkupi kedua tangan Adena dengan miliknya. "Jangan takut, kamu nggak salah, Na. Pak Budi itu orang yang pintar, beliau pasti tahu mana yang benar dan mana yang salah."

"Semisal kamu sampai dikeluarkan, aku bisa memasukkan kamu ke tim legal Waller. Terlepas dari permasalahan pribadi kita, aku bisa lihat kemampuan kamu yang luar biasa, Adena." suara Edbert yang bernada tenang dan lembut sedikit menenangkan perasaan Adena. Adena lagi-lagi menghela napas sebelum pandanganya turun pada tangannya yang tengah digenggam oleh Edbert. Wanita itu langsung melepaskan tangannya dan menatap Edbert dengan kesal. "Nggak usah ambil kesempatan ya!"

Edbert terkekeh. "Ketahuan ya ?" Adena mendengus kemudian mengangkat gelas dan meminum isinya.

Ponsel Edbert yang berada di atas meja bergetar menandakan sebuah pesan masuk. Ia meraih ponselnya dan membaca pesan yang berasal dari Hanan. Restoran tempat mereka makan-makan sudah ditentukan.

Edbert tidak menjawab pesan tersebut dan malah kembali menatap wanita di depannya. Well, sepertinya dia tidak bisa hadir di acara makan-makan itu. Sorry to say, menatap dan berinteraksi dengan Adena lebih menyenangkan baginya.

"Bisa nggak, nggak usah lihatin aku terus ?" Adena mengungkapkan kekesalannya kepada Edbert yang terus saja memandangi dirinya. Bibir Edbert merangkai seulas senyum hangat. Ia lalu mengulurkan tangan untuk mengelus kepala Adena. "Good job for today. Kamu sudah melakukan yang terbaik di persidangan. Apapun yang terjadi setelah ini, aku harap kemampuan hebat seorang Adena nggak akan memudar."

Deg

Entah kenapa, jantung Adena terus saja berulah jika dirinya sedang bersama dengan Edbert. Satu-satunya laki-laki yang mampu membuat dunianya jempalitan.

Edbert lalu menurunkan tangannya dan kini ia tersenyum geli. "Aku berhasil lagi."

"Berhasil ngapain ?" tanya Adena setelah berdeham.

"Membuat kamu merona." Adena mendengus lalu menunduk dan pura-pura sibuk dengan ponselnya untuk menutupi pipinya yang memerah.

"Semoga saja setelah ini aku berhasil mendapatkan hati kamu kembali ya, Na." Adena tersenyum miris dengan kepala yang masih menunduk. Edbert tidak perlu melakukan apa-apa untuk mendapatkan hatinya kembali. Karena pada kenyataannya, hati Adena masih milik pria itu seorang.

Sungguh sialan bukan ?

Lamunan Adena tiba-tiba saja buyar tatkala mendapati sebuah panggilan masuk di ponselnya. Keningnya mengerut lalu sesaat kemudian jantungnya berdebar setelah membaca nama sang penelpon di layar ponsel.

Bpk Budi Gunadharma is calling...

Mampus lah, Adena.

Adena beberapa kali melakukan pernapasan sebelum mengangkat telepon itu dengan suara yang tenang.

"Ada apa ?" Edbert langsung bertanya ketika Adena menurunkan ponselnya dari telinga. Pria itu tanpa sadar juga ikut tegang saat Adena sempat menyebut nama Budi. Tentu saja melihat dari bagaimana sopannya Adena berbicara, Edbert bisa menyimpulkan jika yang menelpon adalah sang pemilik Gunadharma law firm.

Set in StoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang