Dua Puluh

2.6K 282 14
                                    

Buruk. Hari-hari Adena selama hampir 2 minggu berlalu benar-benar buruk. Bila biasanya ia akan mengobrol ringan dengan keluarganya setelah pulang bekerja, kini rasanya ia tidak ingin menginjakkan kaki di rumahnya sendiri. Entah kenapa, sekarang rumahnya tidak terasa seperti rumah lagi.

Adena menghela napas tatkala matanya memandang ke arah jari manis kanannya. Lagi-lagi ia menemukan sebuah benda yang melingkar di sana. Ya, cincin. Semenjak satu minggu yang lalu, dirinya sudah terikat dengan Ferry. Gila bukan ?

Kalau ada yang bertanya apakah keputusan penting itu melibatkan dirinya, Adena akan dengan tegas menjawab tidak. Karena memang begitulah kenyataannya.

Beberapa hari setelah pertengkarannya dengan Ferry, kedua orang tuanya memberi kabar jika keluarga pria itu akan datang untuk mengikat Adena ke dalam pertunangan terlebih dahulu. Dan yang lebih parahnya lagi, dalam acara menyesakkan itu, kedua keluarga dengan seenaknya berbincang mengenai tanggal pernikahan. Keberadaan Adena tidak dianggap.

Lalu Ferry ? Pria itu malah menjadi yang terburuk dari semuanya. Karena dia berpura-pura menjadi pasangan yang sangat pengertian. Dia bilang mengerti akan keputusannya yang keluar dari tim Ace. Ferry bahkan sok-sokan memberi dukungan di depan semuanya, berkata bahwa ini semua akan berlalu dan tidak menutup kemungkinan jika Adena akan kembali masuk lagi ke dalam tim nomor wahid di Gunadharma.

Bullshit.

Adena tahu jika semua kata-kata yang keluar dari mulut Ferry hanya omong kosong.

Akibat dari kejadian yang beruntun di kehidupannya kini membuat Adena menjadi lebih gila kerja. Ia bahkan berencana untuk menyewa sebuah unit apartment agar tidak perlu pulang ke rumah dan bertemu dengan keluarganya yang pasti akan merecokinya mengenai pernikahan yag sama sekali tidak ia inginkan.

"Bu Adena." panggilan dari asistennya membuat Adena tertarik dari lamunan. "Ya ? Ada apa, Sari ?"

"Ada tamu untuk Ibu di bawah. Apa Ibu mau menemui ?"

"Siapa ?"

"Laki-laki namanya Ferry." wajah Adena langsung berubah malas. Ia pun menggeleng. "Nggak usah. Mulai sekarang saya nggak mau ya nemuin dia."

"Noted, Bu. Akan saya sampaikan ke resepsionis dan security." setelah mendapatkan anggukan singkat dari Adena, Sari pun berpamitan meninggalkan ruangan.

Sayang, kelegaan Adena hanya berlangsung selama beberapa detik karena selanjutnya panggilan dari Ferry mulai menyerbu ponselnya tanpa ampun. Akhirnya karena rasa muak bercampur malas, Adena mengangkat panggilan itu.

"Kenapa kamu nggak mau ketemu aku ?!"

"Kamu masih bisa tanya gitu ke aku ?!"

"Ya tentu! Aku merasa perbuatanku sama sekali nggak ada yang salah. Aku itu menyelamatkan kamu dengan menikahi kamu. Untung saja orang tuaku masih mau menerima kamu sebagai menantu meskipun bukan salah satu yang terbaik. Aku yang bujuk mereka untuk-"

"Nggak perlu! Asal kamu tahu, aku sama sekali nggak perlu pembelaanmu, Fer. Nggak guna, pada akhirnya kalian akan terus mendorongku untuk melakukan apa yang nggak aku mau."

"Yang nggak mau kamu ? Memangnya mau kamu itu apa ?"

"Mengakhiri ini semua mungkin. Aku muak sama kamu. Aku muak sama sikap maha sempurna yang kamu terapkan di hubungan kita."

"Kamu ngaco kan ? Keluarga kita sudah mempersiapkan pernikahan. Jangan membuatku malu, Adena."

"Kamu sama sekali nggak bertanya apakah pernikahan ini adalah sesuatu yang aku mau atau nggak ya, Fer. Jangan menyalahkan aku kalau aku berkeinginan untuk nggak melakukannya."

Set in StoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang