Emma sakit. Dan informasi itu menjadi kabar buruk untuk seorang Adena. Karena itu berarti, dia harus kuliah seorang diri untuk satu hari ini. Adena bukanlah mahasiswa ansos, dia juga sering mengobrol dengan teman-teman seangkatannya yang lain selain Emma. Namun, Adena tetap merasa lebih nyaman jika hanya berdua saja dengan Emma. Tidak, tentu saja Adena bukanlah wanita yang terjerumus dalam komunitas pelangi itu. Dia masihlah wanita normal yang menyukai manusia berjenis kelamin laki-laki. Buktinya saja, dia mengagumi makhluk tampan sejenis Edbert.
Menyadari pemikirannya sendiri itu membuat Adena menggelengkan kepalanya keras.
Nggak! Lo masih mau mengagumi makhluk menyebalkan itu, Adena ?
Tanpa sadar kedua kaki Adena bergerak semakin cepat menuju ruang kelasnya. Sesampainya di depan pintu, ia langsung masuk dan menduduki kursi yang berada di baris ketiga.
Adena mengikuti kelas pertamanya itu dengan bosan. Dosen mata kuliahnya ini memang sudah berumur. Jadi, ruang kelas harus benar-benar sepi untuk bisa mendengar dengan jelas perkataan dosen tersebut. Wanita itu kemudian mengedarkan pandangannya ke sekitar dan berdecak dalam hati saat melihat beberapa mahasiswa yang nampak terlelap.
Satu jam lebih lima belas menit kemudian akhirnya Adena dan teman-teman sekelasnya keluar dari dalam kelas. Sebenarnya, Adena ingin menyendiri ke perpustakaan karena tidak ada teman. Namun, protesan dari cacing-cacingnya membuat kakinya beralih menuju kantin.
Biarlah dia makan sendirian. Yang penting kan perutnya terisi.
Adena memilih mie ayam sebagai menu makan siangnya. Setelah memesan, wanita itu berjalan menuju meja yang kosong di dekat warung Mbak Asih. Adena kemudian mengeluarkan ponsel dari kantong jaket dan memainkannya untuk menghapus kesendiriannya.
Adena baru saja selesai meracik mie ayamnya ketika seseorang datang dan menduduki kursi yang berada di depannya. Kepala wanita itu langsung mendongak dan sedikit terkejut saat mengetahui jika Edbert lah yang menjadi tamunya.
"Ngapain ?" tanya Adena sangsi. Edbert hanya menaikkan sebelah alisnya lalu kembali melanjutkan kegiatan minumnya.
"Mulut lo lagi puasa ngomong ?" sahut Adena sebal. Edbert menyeringai kecil sebelum menaruh botol minumnya ke atas meja. "Pertanyaan lo nggak penting. Makanya gue males jawab."
"Tapi gue penasaran. Jawab aja kenapa, sih ?!"
"Kantin adalah tempat untuk membeli apa ?"
Ekpresi di wajah Adena berubah heran. "Makanan dan minuman."
"Nah, itulah yang gue lakukan di sini."
Adena tak mampu menahan geraman kesalnya. "Maksud gue, ngapain lo duduk di sini ? Kan masih banyak meja kosong."
"Ya memangnya ada larangan buat duduk di sini ?" timpal Edbert masih dengan wajah datarnya.
"Fine. Terserah lo. Gue mau makan."
"Silahkan, gue nggak ngelarang." kata Edbert cuek. Hal itu membuat kekesalan Adena semakin menumpuk dan membuat dirinya memakan mie ayamnya dengan ganas.
Tak lama kemudian, nasi goreng pesanan Edbert akhirnya datang. Pria itu langsung memakan makanannya tanpa berkata apa-apa.
"Tumben sendirian." celutuk Edbert di tengah kegiatan makannya. Tanpa menghentikan kunyahannya, Adena membalas, "Emma lhagih sakit."
"Kalo ngomong ditelen dulu makanannya. Muncrat-muncrat noh mie ayam lo."
Adena tidak menghiraukan protesan Edbert dan malah beralih meminum es teh manisnya. "Emma lagi sakit." ulangnya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Set in Stone
RomanceSembilan tahun yang lalu, mereka memulai kisah itu. Singkat memang, namun memorinya begitu membekas. Sekarang, mereka dipertemukan kembali di saat segalanya sudah berubah. Edbert sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Adena di saat persida...