Dua Puluh Dua

2.5K 285 6
                                    

Adena lupa kapan terakhir kali ia merasakan gugup luar biasa seperti ini. Apakah saat sidang skripsi sarjana ataukah saat sidang tesis magister ? Entahlah.

Yang jelas, sekarang ini kedua tangannya sibuk meremas pakaian yang tengah ia kenakan. Adena memperhatikan kedua orang tuanya dan Edbert bergantian. Sudah sejak lima belas menit yang lalu mereka berhadapan, tapi Ibu dah Ayah Adena masih saja belum menampakkan penerimaan terhadap Edbert.

"Adena." Adena menoleh kepada sang ayah yang duduk di serongnya. "Ya, Pa ?"

"Papa sama sekali tidak mengharapkan candaan dari kamu di tengah situasi seperti ini. Sebentar lagi, kita akan membicarakan pernikahanmu dengan Ferry, tapi kenapa sampai ada seorang laki-laki lain yang sekarang berniat untuk melamar kamu ?"

Wajah Adena berubah pias. Ia menggigit bibir, berharap dengan melakukannya dapat mengurangi gemetar yang tanpa sadar sudah menyerang kedua tangannya. "Beg-"

"Adena tidak ada sangkut pautnya dengan ini, Om. Saya yang tetap kekeuh melakukan ini meskipun Adena sudah melarang saya."

"Dan apa yang menjadi alasan kamu sampai tetap kekeuh melakukan tindakan ini ?"

Edbert menoleh sekilas pada Adena sebelum berkata, "Saya dan Adena sudah saling mengenal sejak di bangku kuliah, Om. Saya 3 tahun di atasnya dan kami bisa saling mengenal karena kejadian-kejadian kecil yang terus melibatkan kita. Sampai akhirnya, saya lulus dan hendak melanjutkan magister di Paris. Saat itu, kami baru menyadarinya, sebuah perasaan yang diam-diam tumbuh karena berbagai interaksi yang terjalin."

"Di sini saya mau mengaku jika saya salah. Saya meninggalkan anak Om tanpa kepastian dan janji apa pun. Lebih parahnya lagi, setelah saya kembali ke Indonesia, saya pun tidak langsung mencari Adena dan malah menggantungkan segalanya kepada takdir."

Edbert menghela napas sembari menautkan kesepuluh jarinya. "Sayang sekali, takdir baru mempertemukan kita setelah sembilan tahun. Dan ketika kita bertemu, ternyata sudah ada Ferry di kehidupan Adena."

"Kamu sudah terlambat, kamu tahu ?" Ayah Adena tetap saja tidak berpengaruh dengan untaian kalimat yang dikatakan oleh Edbert. Hal itu membuat tingkatan rasa gugup yang dirasakan oleh Edbert meningkat. "Ya, saya tahu, Om. Tapi-"

"Sudah, saya tidak mau mendengar sanggahan kamu lagi. Pernikahan anak saya sudah di depan mata. Saya tidak ingin merusak segalanya." mendengar kalimat yang baru saja keluar dari bibir sang ayah membuat keberanian Adena untuk berbicara muncul. "Pa, mengenai pernikahan Adena dengan Ferry, boleh Adena berkomentar ?"

"Nak, apalagi ini ?" giliran sang ibu yang menegur anaknya. Adena memilih untuk tidak menggubris dan melanjutkan apa yang hendak ia ucapkan. "Adena tidak mau menikah dengan Ferry. Bukan karena Edbert yang datang untuk melamar Adena tapi karena Adena merasa Ferry bukanlah orang yang tepat."

"Kurang tepat kamu bilang ? Coba bilang sama Papa, apa yang kurang dari Ferry ? Karir sudah bagus, ganteng, kaya, dan mau menerima kamu. Apa yang kurang dari dia, Adena ?" ibu Adena langsung mengelus lengan suaminya yang kini sudah mulai terserang emosi.

"Ya, Ferry memang sempurna. Tapi hanya di mata kalian. Kalau Papa Mama mau tahu, Ferry itu gila kesempurnaan. Saat aku memutuskan untuk keluar dari tim Ace, dia nggak suka karena dia mempunyai keinginan untuk memiliki pasangan dengan karir sempurna seperti dia. Dia nggak suka karena sudah nggak bisa membanggakan aku yang selama ini menjadi anggota tim terbaik di Gunadharma." Adena dapat melihat keterkejutan pada kedua orang tuanya.

"Jujur saja, kalau memang Ferry adalah orang baik, Adena mau dinikahkan dengannya. Tapi, Pa Ma, menikah dengan Ferry itu artinya Adena akan kehilangan diri sendiri."

Set in StoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang