Hari Minggu yang cerah. Edbert menghabiskan waktunya dengan bermain golf bersama sang ayah. Pria itu sudah setengah jalan sampai ke lubang terakhir. Sampai sejauh ini, dirinya masih unggul dari pada Jordan.
"Kamu tidak berniat mengalah pada Papa ?" tanya Jordan ketika mereka sudah berada di atas mobil golf. Edbert mendengus geli kemudian menggoyangkan jari telunjuknya ke kanan dan kiri. "Tidak akan. Aku sudah sering sekali mengalah kepada Papa. Kali ini aku mau menang."
Jordan terkekeh sembari menepuk-nepuk pundak putranya. "Sepertinya kamu sedang senang. Tidak ingin membagi kabar bahagia itu ke Papa ?"
"Bagaimana bisa Papa menyimpulkan kalau aku sedang bahagia ?"
"Kamu itu sudah jadi anak Papa selama 30 tahun. Mana mungkin Papa tidak tahu perbedaan suasana hatimu ? Seperti sekarang ini, sekali lihat saja Papa sudah tahu kalau kamu sedang berbunga-bunga." Edbert berdecih. "Papa sok tahu."
"Sok tahu tapi benar kan ?" Jordan tetap saja mengusik Edbert yang akhirnya berkata, "Edbert cuma mau minta doa Papa saja. Semoga apa yang sedang Edbert lakukan sekarang ini membawakan hasil yang baik."
"Apa ini ? Apa anak Papa ini sedang mengejar wanita ?" tebak Jordan yang langsung mendapatkan pelototan tajam dari anaknya. Jordan menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa ? Papa hanya menebak."
"Dari sekian banyak tebakan, kenapa Papa menebak perihal wanita ?" Jordan mendengus. "Kamu ini, kebiasaan menyecar lawan jangan dibawa ke kehidupan pribadi, dong. Memangnya Papa lawan kamu sekarang ?"
"Habisnya, Papa mencurigakan,"
"Semua orang kamu anggap mencurigakan setelah kamu belajar tentang hukum." balasan papanya itu membuat Edbert terbahak keras. "Maaf, mencurigai seseorang sekarang sudah menjadi sesuatu yang mendarah daging di tubuhku, Pa."
Jordan memberi jotosan singkat di lengan anaknya sebelum berkata, "Papa curiga saja. Kamu minta doa untuk permasalahan sidang saja cuma satu kali, waktu pertama kali sidang. Lalu, setelah sekian lama, kamu minta doa Papa lagi. Papa pikir, tidak mungkin kalau permasalahan meja hijau, pasti masalah yang lain."
"Kamu benar-benar tidak mau mengaku ?" tanya Jordan untuk yang terakhir kalinya. Edbert mengalihkan pandangannya ke samping, ke arah lapangan golf yang terhantar luas. "Tunggu saja, Pa. Nanti Papa juga pasti tahu."
=====
Edbert berjalan dengan penuh percaya diri menuju ruang persidangan. Hari ini adalah persidangan kedua antara Waller Corp dan Bratawijaya. Setelah mengalami kekalahan di persidangan kemarin, Edbert sama sekali tidak berniat untuk mengalami nasib yang serupa lagi. Kali ini ia harus menang.
Tim Bratawijaya yang membawa Gunadharma sebagai tim legal sudah terlebih dahulu sampai. Edbert dapat melihat Adena yang sedang menekuni berkas-berkas persidangan dengan cermat. Diam-diam Edbert mengulum senyum, mengagumi raut serius Adena yang kalau dipikir-pikir jarang sekali ia lihat.
"Pak Edbert, ini berkas yang akan dibutuhkan nanti." Hanan menyodorkan beberapa map kepada atasannya. Edbert menoleh dan menerimanya. "Sudah kamu cek semua kan ?"
"Sudah, Pak." Edbert mengangguk kemudian kembali menikmati pemandangan di seberang sana, pada Adena yang sayangnya berada di tim lawan.
Beberapa saat terlewat sampai akhirnya persidangan dinyatakan dimulai. Seperti yang diharapkan Edbert, Adena terus melawannya dengan kalimat-kalimat tajam. Edbert berdecak dalam hati, merasa kagum dengan perubahan dari wanita di seberang sana. Dulu, Edbert belum menemukan seorang Adena Henzie yang seperti ini. Siapa sangka, sembilan tahun perpisahan bisa membuat wanita itu benar-benar sukses seperti sekarang dengan kemampuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Set in Stone
RomanceSembilan tahun yang lalu, mereka memulai kisah itu. Singkat memang, namun memorinya begitu membekas. Sekarang, mereka dipertemukan kembali di saat segalanya sudah berubah. Edbert sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Adena di saat persida...