Adena menggigit kukunya dengan gemas, merasa resah karena hari ini adalah hari Sabtu. Sekarang jam sudah menunjukkan waktu tiga sore, masih ada empat jam lagi untuk memikirkan cara bagaimana dirinya menolak ajakan malmingan Edbert.
Akhirnya dengan putus asa, Adena meraih ponselnya untuk melaksanakan rencana yang sebenarnya sama sekali tidak ingin dilakukan. Setelah menemukan apa yang ia cari, Adena menekan tombol hijau untuk menyambungkannya dengan seorang pria yang menjadi harapan terakhirnya.
Setelah dering ke tujuh, akhirnya Adena mendengar sebuah suara berat diseberang sana. "Halo."
"Ferry, hai. Sibuk ?"
"Nggak, baru aja selesai operasi. Ini lagi di ruang istirahat."
"Capekya pasti."
"Capek iya, tapi gimana lagi, sudah bagian dari pekerjaanku. Kamu gimanahari ini ?"
"Nggak seberat kamu karena hari ini aku libur."
"Ah ya, aku lupa kalau Sabtu kamu juga libur. Seandainya, habis ini aku free, aku pengen ajak kamu malam mingguan." Adena menggigit bibir, perasaannya tidak enak setelah mendengar informasi dari Ferry barusan.
"Habis ini masih ada operasi memangnya ?"
"Ya, dua jam lagi. Lumayan buat istirahat dulu."
Ok, Adena menyerah. Sepertinya dia harus menghabiskan malam minggunya bersama dengan si Edbert sialan. Tidak ada lagi rencana-rencana lain yang singgah dan lewat di otak miliknya.
"Hm, ya sudah kalo gitu. Istirahat dulu sana."
"Hm, makasih ya, sayang. Nanti kalo aku sudah nggak sibuk, kita ketemu, ok?"
"Ok."
Adena langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur dengan keras. Merasa putus asa dengan malam minggunya yang entah akan terlewat seperti apa.
=====
Edbert tersenyum puas saat melihat Adena yang tengah berjalan keluar dari rumah wanita itu. Edbert pikir, Adena akan melakukan perlawanan terlebih dahulu. Untung saja kenyataannya tidak seperti itu.
"Halo, cantik." sapa Edbert ketika Adena sudah duduk manis di sebelahnya. Adena hanya mendengus dan memilih untuk mengenakan sabuk pengamannya. "Mau kemana ?"
"Hotel." kedua mata Adena melotot mendengar jawaban ngawur dari Edbert.
"Kamu mau mati ?!" Edbert terkekeh kemudian melajukan mobilnya ke sebuahtempat yang sudah ia pikirkan selama seharian ini. "Jangan mati dulu lah, aku belum halalin dan bahagian kamu."
"Mulutnya manis banget sih."
"Iya, kayak kamu." Adena berpura-pura muntah saat mendengar gombalan dariEdbert yang membuatnya merinding geli. Wanita itu kemudian membuang wajahnya ke arah jendela, lebih memilih memperhatikan jalanan dari pada berinteraksi dengan pria edan di sampingnya.
Setengah jam kemudian, akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti. Begitu selesai membaca nama tempat dimana mereka berada, Adena langsung memasang wajah kesalnya. "Edbert, serius ?! Ngapain bawa aku kehotel ?"
Edbert mengulum senyum geli sembari melepas seat belt yang tadi ia kenakan. "Menurut kamu, kalo di hotel kita mau ngapain ?" wajah Adena mulai dihiasi rona merah akibat percampuran rasa malu dan marah. "Kamu jangan macem-macem ya! Aku bi-"
"Makan. Kita mau makan di sini. Ini hotel milik keluarga aku yang baru saja jadi. Ayo." kalimat Edbert itu langsung menghancurkan pikiran-pikiran buruk yang ada di otak Adena dan membuatnya bernapas lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
Set in Stone
RomanceSembilan tahun yang lalu, mereka memulai kisah itu. Singkat memang, namun memorinya begitu membekas. Sekarang, mereka dipertemukan kembali di saat segalanya sudah berubah. Edbert sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Adena di saat persida...