Empat

3.2K 292 3
                                    

Adena – wanita yang ingin menjalani kehidupan perkuliahan normal itu sepertinya tidak bisa memwujudkan keinginannya. Tiga hari berjalan dengan berbagai omongan dari mahasiswa lainnya dan seolah belum cukup mengganggu, hari ini Tora kembali menyapa Adena.

"Hai, Na." Tora muncul dengan santainya di depan Adena yang baru saja tiba di kampus. Adena menghembuskan napas kesalnya sambil menunduk agar Tora tidak menyadari tindakannya itu.

"Kelas jam 10 ya ?" tanya pria itu lagi. Adena lalu mendongak dan dengan senyum terpaksanya ia menjawab, "Iya, Bang. Ini mau masuk kelas."

"Mau gue anterin ?"

Adena langsung melambaikan kedua tangannya untuk menolak. "Nggak usah, Bang. Kelasnya kan jauh. Lagian, ini udah mepet mau masuk kelas."

"Udah, nggakpapa. Sekalian gue mau ke kantin." Tora tetap bersikeras dan akhirnya membuat Adena tidak bisa mendebat kakak tingkatnya itu lagi. Adena kemudian mengangguk lemas dan membuat Tora tersenyum senang. Keduanya kemudian berjalan bersisian menuju gedung.

Sepanjang perjalanan, Tora lah yang terlihat mengajak adik tingkatnya itu untuk mengobrol. Sedangkan Adena, wanita itu hanya menanggapi sekenanya saja. Selain malas, kini Adena menyadari jika dirinya dan Tora sedang menjadi bahan perbincangan para mahasiswa yang kebetulan berpapasan dengan mereka.

Adena baru bisa bernapas lega saat mereka sudah sampai di depan kelasnya. "Ya udah, Bang. Saya masuk kelas dulu ya." kaki Adena baru saja bergerak selangkah saat Tora menahan tangannya. "Kenapa, Bang ?"

"Nanti makan siang sama gue ya ?" mendengar pertanyaan itu membuat Adena menggerutu dalam hati.

Apa peringatan Edbert waktu itu sama sekali tidak berarti untuk cowok ini ?

"Maaf, Bang. Saya nggak bisa. Saya ada kumpul buat ngerjain tugas kelompok."

"Mau ngerjain di mana emangnya ?"

Adena menelan ludah karena ternyata Tora melontarkan pertanyaan lanjutan untuk ucapan kebohongannya barusan. "Di rumahnya Emma, Bang."

Kepala Tora mengangguk-angguk. "Ooh di rumah Emma ya. Kalo gitu, gue ajak lo makannya malem minggu aja gimana ?"

Mata Adena langsung membulat tak percaya. Dia sama sekali tidak mengerti dengan pria di depannya ini yang getol sekali mengajaknya makan bersama.

Dasar, kakak tingkat gatel.

"Mau lah ya ?"

Tanpa disadari, kepala Adena menggeleng tanda menolak. Dan hal itu membuat Adena merutuki dirinya sendiri yang begitu spontan.

"Kenapa ? Ada janji sama orang lain ?" selidik Tora.

Adena menghembuskan napas panjangnya. Wanita itu sedang menguatkan tekad untuk berkata yang sejujurnya kepada Tora. "Nggak ada kok, Bang. Cuma saya nggak mau aja pergi sama Bang Tora."

Wajah Tora nampak mengeras dan tanpa sadar pria itu mengetatkan cekalannya pada tangan Adena. "Lo nolak gue ?"

Adena menelan ludahnya gugup. Tidak, ia harus kuat. Dirinya harus bisa menolak Tora dengan tegas.

"Iya, Bang. Hak saya kan buat menolak ajakan Bang Tora." ucap Adena sambil melepaskan tangannya dari cekalan Tora. Kini seringaian di wajah kakak tingkat Adena itu mulai nampak. Pria itu maju satu langkah ke arah Adena dengan menatap lurus matanya. "Lo memang berhak menolak gue, Adena. Tapi itu artinya kehidupan perkuliahan lo nggak bisa damai-damai aja. Gue bisa pastikan kalau setelah ini-"

"Setelah ini, lo bakal apa ?" sama seperti beberapa hari yang lalu, Tora tidak bisa mengucapkan ancamannya sampai selesai karena interupsi dari seorang Edbert. Pria yang satu tahun lebih tua dari Tora itu kini nampak berdiri menjulang di samping Adena. "Gue sudah memperingatkan lo kan, buat nggak semena-mena lagi sama adik tingkat ?"

Set in StoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang