"By the way, lo mau ngajak gue bolos kemana ?"
"Udah separuh jalan dan lo baru tanya sekarang ?"
Wajah Adena yang semula santai langsung berubah kesal. Ia merasa bodoh sekarang karena lupa akan sifat menyebalkan yang dimiliki oleh pria di sebelahnya ini.
"Jangan-jangan, lo mau nyulik gue ya ?" selidik Adena dengan kedua matanya yang menyipit. Perkataan wanita itu mengundang dengusan Edbert. "Nyulik lo ? Nggak ada untungnya, bocah. Yang ada gue malah rugi."
"Ya terus, kenapa lo ngajakin bocah kayak gue ini ?!"
"Iseng aja."
"Wow, so wonderful. Gue salut banget sama alasan lo yang sangat berbobot."
Edbert terkekeh saat mendengar sarkasme yang baru saja dikeluarkan oleh Adena. Ia kemudian menghadapkan kepalanya ke samping dan menatap adik tingkatnya itu. "Lo tahu, lo bener-bener cocok masuk jurusan hukum. Lawan lo nanti pasti bakal sebel sama argumen-argumen lo."
Pujian dari Edbert malah dibalas dengan wajah malas Adena. "Makasih ya, Bapak Edbert, atas pujiannya. Saya tersanjung sekali."
Perdebatan singkat yang tidak penting itu akhirnya selesai saat lampu merah sudah berubah menjadi hijau. Edbert memfokuskan pandangannya kembali ke depan dan mengendarai mobilnya menuju ke tempat yang sedari tadi dia pikirkan.
..........
"Seroiously, Ed ? Lo ngajak gue ke Timezone ?" Adena menatap zona permainan di depannya dengan tatapan tak percaya. Ia lalu menoleh ke samping dan menemukan ekspresi di wajah Edbert yang begitu santai.
"Kenapa memangnya ? Jangan bilang, lo nggak bisa main ?" tantang Edbert langsung.
"Kalo gue tanya gitu ke lo, memangnya artinya itu gue nggak bisa main ya ?" balas Adena sengit.
"Ya udah kalo gitu. Nggak usah banyak omong, ayo kita tanding."
"Lo nantangin gue ?!"
"Kalo iya kenapa ?" sahut Edbert dengan tenang. Hal itu semakin membuat emosi Adena naik ke ubun-ubun. "Oke! Gue terima tantangan lo."
Senyum penuh kemenangan milik Edbert pun muncul. "Nice. Itu baru adek tingkat gue." setelah mengatakan itu, Edbert langsung berjalan menuju tempat pembelian saldo.
"Jadi, apa permainan pertama kita ?" tanya Edbert kemudian. Kening Adena berkerut tanda jika ia sedang berpikir. Ia memandangi sekitar dan akhirnya tatapannya berhenti di satu titik. Adena lalu mengangkat tangan kanannya dan menunjuk ke sebuah permainan.
"Gimana kalo kita pemanasan dulu pake itu ?" Adena memasang wajah riangnya. Sedangkan Edbert, pria itu memasang wajah jengah karena tidak percaya dengan permainan yang dipilih oleh Adena.
"Lo itu udah kuliah, Adena. Masak lo mau mainin permainan anak kecil begitu ?"
"Ya memangnya kalo gue udah kuliah, gue nggak boleh mainan itu ? Kan nggak ada ketentuannya juga." balas Adena yang masih dalam pendiriannya. Edbert mendesah pelan. Lalu ia pun memutuskan mengalah dan berjalan menuju ke mesin permainan.
Keduanya kini sudah sama-sama berdiri di depan permainan memukul tikus. Mereka sudah siap dengan palu di tangan masing-masing. Dua orang itu sama-sama berkonsentrasi menatap layar yang sedang melakukan hitungan mundur. Dan ketika angka satu hilang, keduanya langsung memukul kepala-kepala tikus yang mulai naik bergantian.
Permainan pertama itu berlangsung sengit. Keduanya tidak ada yang berkeinginan untuk kalah, sehingga mereka mengeluarkan seluruh kemampuan dan tenaga untuk memukuli para tikus-tikus nakal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Set in Stone
RomanceSembilan tahun yang lalu, mereka memulai kisah itu. Singkat memang, namun memorinya begitu membekas. Sekarang, mereka dipertemukan kembali di saat segalanya sudah berubah. Edbert sama sekali tidak menyangka akan bertemu dengan Adena di saat persida...