15 : Decision

7.8K 625 53
                                    

Gina's PoV

"Please Sena! Give me a chance." Setelah melepaskan ciuman kami, aku memohon pada Sena agar dia mau menerimaku.

"Kamu kabur dan menghilang setelah cium aku waktu itu. Remember?"

"Maaf."

"Aku ga perlu kata 'maaf' dari kamu Gin. So, setelah ini bisa aja kamu pergi lagi sesuka hati kamu."

"Ngga Sen. I need you to trust me."

"Terlalu beresiko untuk mempercayakan hati aku sama kamu." 

Aku kehilangan kata-kata untuk menjawabnya. Apa yang Sena katakan itu benar. Seperti yang pernah kupikirkan, terlalu beresiko baginya jika dia mendapatkan seseorang seperti aku. Karena hal itu pula yang membuatku tidak berani untuk menjadikannya lebih dari sekedar teman.

"Iya, kamu benar. Aku sangat menyadari itu." Aku tersenyum getir dan merasa harapanku menipis. "Jadi, ga ada kesempatan untuk aku?"

Sena tidak menjawab.

"Sen, aku tau akan sulit bagi kamu untuk yakin sama aku. Tapi aku mau tau, apa kamu yakin sama diri kamu sendiri?"

"Mengenai?"

"Perasaan kamu. Apa kamu punya rasa yang sama seperti aku?" 

Sena diam. 

"Kamu diam karena kamu juga merasakan hal yang sama tapi ga mau ambil resiko? Atau kamu diam karena memang ga punya rasa sama aku?" 

Dia masih enggan menjawab. 

"Sen, aku ga akan bisa mengambil keputusan kalo kamu diam." Aku mulai frustasi ketika Sena masih belum mau memberikan respon. 

"Kalo kamu sayang sama aku, aku akan berusaha untuk meyakinkan kamu sekalipun sulit dan aku akan berjuang untuk hubungan kita. Tapi kalo kamu memang ga punya rasa sama aku, itu artinya aku harus tau diri dan menyerah."

Sepertinya Sena sedang mempertimbangkan ucapanku. "Apapun jawaban kamu, aku akan terima. Aku ga akan maksa kamu kok."

Setelah hening sejenak, barulah Sena bersuara. "Well...okay."

"Oke apa?" 

"I'm ready...

Aku cemas menanti perkataan selanjutnya. 

Sena menghela nafas sebelum lanjut mengatakan, "To take the next step. With you."

Kali ini giliran aku yang diam. Tidak menyangka Sena akan menjawab begitu. 

"Serius? Kamu ga lagi becanda kan? Kamu ga lagi mainin aku kan Sen? Atau balas dendam gitu? Atau prank? Ngerjain aku, nyatanya bo'ongan?" Aku melontarkan banyak pertanyaan untuk memastikan keseriusan dari keputusannya. 

"Selama ini siapa yang suka bercanda? Aku atau kamu?" 

"Iya...iya tapi kan...tapi kan ini..." Aku speechless. Masih sedikit kaget dengan jawaban yang diberikan oleh Sena.

"Aku serius, Gin. Aku harap kamu juga serius. Aku cuma akan kasih satu kesempatan untuk kamu, untuk kita." 

"That's more than enough. Thank you." Kupeluk erat dirinya karena merasakan senang yang teramat sangat. 

Sena's PoV 
Kini aku dan Gina sedang berbaring sambil mengobrol di tempat tidurku. Setelah drama tadi, aku memintanya untuk tidak pulang. Hitung-hitung menebus kesalahan karena telah membiarkan dia menunggu diluar selama berjam-jam sedari sore. Lagipula, aku hanya ingin menguji Gina, seberapa serius niatnya untuk menjalin hubungan denganku.

"Sen?" 

"Hm?" 

"Thank you.

"Untuk?"

"Kamu mau kasih aku kesempatan. Aku akan mencoba semampu aku, untuk jaga kamu, jaga perasaan kamu." 

"Oke. I'll try to trust you."

Aku mengizinkan Gina untuk menggenggam hatiku, memberikan kesempatan padanya untuk membuktikan ucapannya. Pada akhirnya aku berani mengambil keputusan ini karena aku dapat melihat kesungguhannya, meski dia sempat menyerah sebelum mencoba.

Gina memelukku. "Aku kangen banget sama kamu Sen."

"Siapa yang sok-sok-an ngilang? Susah dihubungi. Ga mau angkat telepon. Sekalinya muncul malah kecelakaan, sama cewek laen lagi." Mumpung ingat soal itu, aku jadi ingin menginterogasinya. 

"Maaf, sayang."

"Ngapain aja dua bulan kemaren? Abis cium-cium besoknya tiba-tiba kabur. Tipikal playgirl banget kamu nih."

Bukan Gina namanya kalo dia menjawab dengan serius. "Hehe...jangan cemburu gitu ah. Sini-sini aku cium lagi."

"Ga ada cium-cium. Ngapain aja kamu hm?" 

"Yah galaknya kumat deh. Dua bulan kamu ga kangen apa?" 

"Bodo!"

"Kamu bodo?" 

"Gina!" 

"Hahahaha...iya bercanda. Maaf, maaf." 

Ah, aku kangen momen-momen ini, seperti saat dulu dia sering mengerjaiku. Gina mengelus kepalaku. Rasanya...nyaman. 

"Sen, kalo kemarin kamu ga datang ke rumah sakit, mungkin aku semakin ga berani untuk muncul di hadapan kamu lagi. Dengan kamu datang kemarin, aku berpikir mungkin masih punya kesempatan. Ya aku juga ngerti, kamu ga datang lagi pasti karena kecewa waktu dengar aku kecelakaan sama Metta. Iya ngga?"

"Iya. Jadi ngapain kamu sama Metta?"

"Ih seneng deh kamu cemburu gitu. Sini beneran aku cium. Gemesin banget."

"Jawab yang bener ih." 

"Khawatir banget ya sama aku?"

"Tadinya iya. Gimana ga khawatir kalo tau-tau kamu kecelakaan dan ada di rumah sakit? Aku ga tau keadaan kamu selama dua bulan ini."

"Tadinya khawatir, emang sekarang udah ngga?" 

"Ya ngga. Ini kamu sekarang ada di sini dengan kelakuan menyebalkan seperti biasa. Itu tandanya kamu baik-baik aja. Jadi ga ada yang perlu dikhawatirkan."

"Bisa aja si singa."

"Hm... Dua bulan kemarin aku menyibukkan diri sama kerjaan. Supaya ga kepikiran kamu terus. Tapi ya ga bisa ya. Dari bangun sampe mau tidur tetep kepikirannya kamu. Tidur juga ga nyenyak. Jam kerja makin nambah, jam tidur makin berkurang."

"Makan juga pasti ga teratur ya? Kamu keliatan kurusan."

"Gimana mau makan Sen? Ga selera. Ga enak ngapa-ngapain."

"Kamu sih pake acara menyiksa diri, nyiksa aku juga."

"Iya, ngga lagi-lagi."

Selanjutnya kami membicarakan banyak hal, menceritakan tentang keluarga, kehidupan masing-masing. Kami memang perlu saling terbuka agar dapat lebih saling mengenal satu sama lain dikarenakan waktu kami dari awal kenal terbilang singkat. Walaupun saat Gina bercerita soal masa lalunya sebagai "player" malah membuatku cemburu. Tapi aku tau dia hanya ingin jujur mengenai dirinya. Sama sepertinya, aku juga bercerita dengan jujur mengenai Audy. Namun ternyata, tanpa aku sangka, Audy bisa menjadi masalah di antara aku dan Gina di kemudian hari.

To be continue 

I'm Happy When I'm With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang