4. Lagi

5K 373 7
                                    


Tak tak tak

Dia terus berlari. Tidak mempedulikan tatapan aneh dari orang-orang yang dia lewati.  Terus memacu kakinya untuk berlari, menuju sebuah ruangan yang selalu dia benci.

Dia tidak mempedulikan bajunya yang basah karena guyuran air hujan saat diperjalanan tadi. Dia bahkan tidak sempat pulang kerumah hanya sekedar untuk mengganti baju seragamnya.

Tidak peduli air hujan yang dingin menembus bagian dalam pakaiannya dan angin kencang yang menembus bagian dalam kulitnya.

Kakinya terus memacu tanpa berhenti berlari. Dia tidak peduli akan air yang ikut menetes membasahi lantai koridor yang membuat kotor dengan bagian sepatu yang juga basah terkena air hujan.

Hatinya tidak akan bisa tenang sebelum dia melihat sosok itu. Sosok yang dia sayangi. Sosok yang selalu mengisi hari-harinya dengan senyuman manis. Sosok yang selalu tabah menanganinya disaat dia menentangnya. Sosok yang selalu memberi solusi disetiap permasalahan yang dia hadapi. Dia hanya bisa berharap semoga apa yang sedang dipikirkannya tidak pernah terjadi atau jangan sampai terjadi.

Dia memelankan langkah kakinya berlari. Semakin pelan semakin pelan semakin pelan, lama-lama dia berjalan dengan langkah kaki yang tidak menimbulkan suara sedikitpun. Jantungnya terus berpacu seiring dengan suara langkah kakinya yang memelan mendekati sebuah ruangan putih dengan daun pintu yang juga berwarna putih.

Langkahnya semakin terasa berat kala dia sudah hampir sampai didepan pintu ruangan tersebut. Sejenak dia menghentikan langkahnya saat sudah sampai didepan pintu ruang putih tersebut. Dia termenung antara memilih masuk atau tidak. Hatinya kalut. Dia takut, jika dia masuk dia takut apa yang ada dipikirannya benar-benar menjadi kenyataan. Namun jika tidak masuk, dia takut jika dia tidak memiliki kesempatan. Hatinya bimbang seiring dengan suara detak jantungnya yang berpacu semakin cepat.

Menarik nafas dalam lalu hembuskan. Tangannya terulur untuk memegang hendel pintu ruang itu. Sejenak dia merasakan seluruh tubuhnya bergetar anatara takut dan kalut. Dipejamkan matanya lalu hembuskan kembali nafasnya yang terasa berat. Lalu tangannya beralih memutar kenop pintu.

Klek

Aroma obat-obatan.

Itulah yang pertama kali dia rasakan saat pintu sudah terbuka sepenuhnya.

"Ana"

Dia mengalihkan pandangannya saat seseorang memanggil namanya. Disana Ana bisa menemukan mamahnya yang sedang menangis sesenggukan diiringi dengan Ara yang terduduk dilantai, sama juga sedang menangis sesenggukan.

Seketika jantungnya kembali berpacu dengan cepat. Dengan langkah kaki gemetar, Ana berjalan menghampiri sang mamah dan adiknya, Ara. Matanya mulai memanas akan dugaannya yang mungkin saja benar.

Kakinya goyah, dunia seakan menghantamnya kembali dengan batu besar. Lagi-lagi dia harus kehilangan orang yang dia sayang. Air mata yang sejak tadi ditahan akhirnya lolos juga. Meluruh membasahi pipinya yang terasa dingin karena guyuran air hujan. Isak tangisnya pun lolos disela-sela bibirnya yang berwarna putih pucat karena kedinginan. Hatinya sakit, dadanya terasa sesak, isak tangisnya pun semakin kencang kala kebahagiaan mereka terenggut secara paksa.

Semakin lama semakin kencang dia menangis kala melihat tubuh seseorang yang dia sayang tergolek tak berdaya di ranjang rumah sakit. Matanya tertutup rapat dengan damainya menambah kesesakan dirongga dadanya yang memang sudah sesak. Tadi pagi dia masih bisa melihat dia makan dengan lahapnya. Namun, sekarang... bahkan untuk membuka matanya saja dia tidak mau. Air matanya semakin banyak meluruh.

"Grandpaaaa" teriak seorang anak kecil dari arah belakang dengan membawa buku gambar bergambar hello kitty. Langkah berlarinya terasa ringan menghampiri seseorang pria paruh baya yang sedang membaca koran di sofa ruang keluarga.

Invisible GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang