5. Wasiat

5.3K 372 6
                                    

Setiap awal pasti ada akhir. Setiap cinta pasti ada lara. Setiap suka pasti ada duka. Setiap rasa pasti ada kecewa. Setiap senyuman pasti ada kesedihan. Dan setiap pertemuan pasti ada perpisahan.

Lalu bagaimana manusia bisa melewati semua itu?

Bagaimana cara mereka tetap berdiri walaupun tidak ada lagi cagak yang mampu mendorong mereka untuk berdiri?

Bagaimana cara mereka bisa tersenyum walaupun sebenarnya hati mereka sedang bersedih?

Bagaimana cara mereka tetap bisa berjalan meskipun sudah tidak ada lagi harapan dalam setiap langkah?

Menyakitkan

Tapi tidak bisa melawan

Menyalahkan

Tapi sudah termasuk kuasanya

Tidak ada yang bisa Ana lakukan selain menangis sesenggukan didalam kamarnya.

Seusai pemakaman kakeknya tadi sore, Ana langsung pulang dan menuju kedalam kamarnya. Dia mengurung dirinya didalam kamar hingga makan malam usai. Mamanya dan Ara sempat khawatir karena Ana mengurung dirinya didalam kamar dan belum keluar sampai makan malam tiba. Mereka mencoba membujuk Ana supaya mau membuka pintu kamarnya dan makan makan malam terlebih dahulu. Tapi Ana bersikeras bahwa ia tidak mau makan karena tidak lapar. Akhirnya butuh beberapa waktu Ana mau keluar kamar dan makan meskipun makanan yang masuk kedalam mulutnya terasa hambar. Tapi bagi Mama dan Ara itu sudah cukup asal jangan sampai Ana tidak makan karena terlalu bersedih akan kepergian kakeknya. Meskipun mereka berdua tahu bahwa untuk menyentuh makananpun Ana merasa enggan, tapi tetap memaksakan agar Mama dan adiknya tidak merasa khawatir.

Diusapnya kembali air mata yang tiba-tiba meleleh. Sambil membekap mulutnya sendiri agar bisa meredam suara isak tangisnya agar tidak keluar mengganggu Mama dan Ara yang sudah tertidur pulas didalam kamarnya masing-masing.

Hatinya terasa terhimpit.

Dadanya terasa sesak.

Dialah yang merasa paling kehilangan. Karena sosok kakeknya adalah sosok panutannya. Dimana setiap orang selalu berkata bahwa sosok panutan mereka adalah ibu atau ayah mereka. Namun Ana berbeda. Dia menjadikan sosok panutannya bukan kedua orang tuanya, melainkan adalah kakeknya. Dia juga tidak tahu mengapa dirinya bisa menjadikan kakeknya sebagai panutannya disaat teman-teman sekolahnya dulu menjadikan orang tua mereka sebagai panutan mereka. Dia hanya merasa ingin seperti kakeknya. Sudah itu saja. Namun Ana tidak pernah tahu apa itu alasannya. Mengapa dirinya ingin menjadi seperti kakeknya?

Mamanya tadi sudah bercerita semuanya. Bagaimana kakeknya bisa meninggal disaat dia melihat kakeknya waktu itu baik-baik saja. Dan Ana sudah bisa menyimpulkan bahwa kepergian kakeknya adalah...

Suratan Takdir.

Ana bahkan tidak percaya bahwa itu bisa terjadi.

Tapi sekali lagi...

Itu adalah Takdir

Bagaimana bisa kita melawan takdir?

Malam makin berlarut. Namun, Ana masih sesenggukan meskipun air matanya sudah tidak keluar. Dia menangis terlalu lama. Pasti nanti matanya sembab. Ia akan memikirkan cara agar ia tidak kelihatan habis menangis besok pagi saat akan menuju kesekolah.

Ditolehkan kepalanya menghadap kejendela. Semilir angin masuk melewati celah jendela dengan korden yang tertutup.

Ana memejamkan matanya. Dia menghela nafas. Dia tidak boleh seperti ini. Dia harus bisa menerima apa yang sudah ditulis takdir. Dia tidak bisa menyalahkan takdir atas kepergian kakeknya. Cepat atau lambat pasti ini akan terjadi. Semua manusia yang bernafas pasti akan mati. Lambat laun tidak ada terkecuali. Yang membedakan nantinya adalah mereka yang rajin beribadah dan mereka yang rajin berdosa. Semuanya akan dipertanggungjawabkan dihadapan Nya.

Invisible GhostTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang