Ring Octagon

919 191 144
                                    

Karya : Malik

ERLAN ERLAN ERLAN!

Teriakan-teriakan atas namaku menggema di seluruh ruangan. Ada semangat yang menjalar setiap mereka menyerukan namaku. Pertandingan nasional ini aku benar-benar sudah menantikannya. Aku menuliskan di tanggal ini, aku akan berangkat ke Hongkong, tentu saja setelah memenangkan pertandingan.

"Waaah, aku tampan, iyakan?!" Masih  ada 20 menit waktu persiapan. Aku sedang berpose di depan cermin, berusaha santai karena aku yakin akan menang.
"Cuih, najis!" Kia, managerku itu pura-pura meludah.
Ada banyak yang hadir. Tentu saja keluargaku juga ada. Bahkan Sya adikku hadir, seharusnya dia ada di rumah sakit sekarang. Sya, punya masalah dengan ususnya.

"Hei, Lan!" Suara serak pelatihku memanggil.
"Oy Pak!" Aku berlari menghampiri, ada Ayah disampingnya.
"Lan pastiin kamu menang. Atau Ibumu Ayah bunuh."

Degg

Aku tersenyum. Benar, Ayah tidak akan membunuh Ibu secara harfiah. Tapi, dia akan membunuh Ibu dengan caranya sendiri.
"Tenang Yah, ini ERLAN anak Ayah, gak mungkin kalah!" Aku menepuk-nepuk dada, menyombongkan diri. Ayah tersenyum sepintasan lalu pergi. Setelah menerima sedikit arahan dari pelatih aku segera menuju ring. Tapi, seseorang membawaku tiba-tiba.

Aku keluar dari ruangan itu dengan pikiran kacau. Segera berlari setelah panggilan atas namaku kembali terdengar.

ERLAN ERLAN ERLAN
ARDAN ARDAN ARDAN

Lawanku, Ardan, berdiri dengan senyum yang menyungging. Aku tidak membalas senyumnya. Padahal, aku dikenal sebagai atlet yang ramah. Ada sesuatu yang mengganjal perasaanku.

"Bang Erlan! Semangat!!" Aku menoleh, Ibu sedang memeluk Sya yang duduk di kursi roda. Sya, bocah itu tersenyum memamerkan gigi kelincinya. Harusnya besok dia di operasi. Aku mendongak, menatap Ayah yang tajam mengawasiku.

"Siap?" Wasit bertanya. Begitu terdengar suara pluit, pertandingan itu dimulai.
Aku memulai dengan tendangan, Ardan menangkisnya. Ardan memberi tinju, aku membalas pukulan hoox.

Dugg Buggh Dugg Bugh Bugh

Kami saling meninju. Posisi Ardan terjepit. Seruan atas namaku semakin terdengar. Aku melayangkan tendangan berputar, mengenai kepalanya. Ardan tersungkur. Wasit menghitung mundur dari angka 10.

"Erlan, pilihan ini menguntungkan dua pihak. Ardan akan menang dan pergi ke Hongkong. Adikmu akan diberi biaya untuk operasi. Kalian membutuhkannya kan? Dan juga utang keluargamu pada Bos akan dianggap lunas."

Ardan bangkit, balas meninju.

" kamu hanya perlu terlihat kalah di ring octagon. Kamu bisa mengikuti lagi lomba ini tahun depan. Kamu tidak kasihan pada adikmu? "

Aku membiarkan pukulan, tinju, dan tendangan Ardan mengenai tubuhku.

" ketimbang pergi ke Hongkong, bukankah kesehatan adikmu paling penting? Kalian butuh biaya untuk operasi bukan? "

Sekali lagi. Saat tinju Ardan mengenai perutku, aku terhuyung. Dan memilih tidak bangkit melawan.

"Bang Erlan bangun!! Bangun Bang!!" Aku melihat Sya yang menangis, juga mendengar teriakan penggemarku, sekaligus suara hitungan dari wasit.
"Kalo gak bangun Sya gak mau main lagi sama Abang!!" Sya dan Ibu benar-benar menangis, memohon agar aku berdiri. Tapi, keluargaku butuh uang itu. Aku memilih kalah.

Kupikir, itu keputusan yang tepat. Ternyata, itu hal paling menyedihkan yang pernah aku buat. Sya yang tetap sakit bahkan setelah dioperasi, Ayah yang tetap "membunuh ibu" dengan hutangnya,  dan aku yang kehilangan kepercayaan diri. Aku kehilangan ring octagon itu.

Kerikil Kata || CERPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang