Rumah Kosong

215 137 64
                                    

Karya : Malik

  Denting piano terdengar mengalun sampai kamar. Iramanya yang tidak menentu membuatku penasaran siapa yang malam-malam begini membuat keributan.

  Rumahku cukup besar dengan perabotan yang sedikit. Sebenarnya, rumah ini terasa lebih sepi dan terkesan dingin. Apalagi hanya aku, Kla adikku dan Bibi Ellen yang tinggal. Aku pernah bertanya pada Bibi Ellen kenapa tidak menambahkan perabotan dirumah. Biar lebih sesak saja kelihatannya. Tapi kata Bibi Ellen, dia suka rumah yang kosong melompong seperti ini. Akan leluasa jika Kla ingin bermain. Juga Bibi Ellen akan lebih mudah membersihkan rumah. Karena tidak banyak sela-sela sempit.

  Biar kujelaskan bagaimana kosongnya rumah besarku. Jika kamu membuka pintu gerbang, kamu harus berjalan 20 langkah orang dewasa untuk sampai di teras rumah. Ada dua kursi kecil dan meja bundar di teras. Pak RT setiap hari Minggu akan duduk disana, meminta iuran mingguan untuk pembuatan pos jaga. Aku yang akan menemaninya berbincang selama 20 menit. Setelah teras itu, jika kamu membuka pintu akan ada tanjakan kecil menuju ruang tamu. Hanya ada sofa dan meja yang ditalami permadani dari Turkey. Luas ruangan itu 3 kali lipat luas ruang kelas pada umumnya. Lalu ada anak tangga disetiap sisi. Sisi Barat jika kamu ingin keluar rumah. Sisi Timur jika kamu ingin naik ke lantai 2. Sisi Selatan jika kamu merasa lapar. Dan sisi Utara jika kamu ingin bersantai.

Di dapur hanya ada kompor, tempat menyimpan peralatan dan satu kulkas besar. Selesai memasak, ada ruangan disebelahnya untuk makan. Hanya terhalang rak yang menjulang tinggi.  Lantai 2 adalah kumpulan kamar. Ada lima kamar di lantai itu. Untukku, Kla, Bibi Ellen dan tamu yang ingin menginap. Disetiap kamar hanya ada satu ranjang di tengah. Ada kamar mandi kecil disetiap kamar. Dan untuk sisi Utara yang tadi aku katakan, itu seperti lorong bermain. Ada piano di ruangan pertama. Hanya itu saja. Padahal ruangan itu lebih luas dari kamarku. Ada peralatan melukis di ruangan kedua. Ada tempat karaoke yang tak pernah dipakai di ruangan ketiga. Dan entahlah, seumur hidup aku bahkan belum pernah menjelajah semua sudut rumah ini. Terlalu malas. Semua lantai dan dinding terbuat dari marmer, membuat hawa semakin dingin.

Meski terkadang Kla mengajak teman-temannya bermain di rumah, setiap waktunya hanya kami bertiga disini. Ayah dan Ibu sudah lama pindah rumah. Dengan alasan sudah tidak nyaman lagi, mereka pergi ke luar kota. Rumah mereka disana sedikit lebih kecil tapi sepertinya lebih hidup. Ibu pasti membeli banyak perabotan untuk rumah keduanya.

Suara piano itu perlahan lenyap seiring banyaknya anak tangga yang sudah aku lewati. Ini pasti Kla. Mana mungkin Bibi Ellen memainkan piano. Dahulu saja dia tidak bisa. Dan benar saja, anak nakal itu tersenyum padaku begitu aku sampai di depan pintu. Kulirik bulan yang menggantung di atas pekatnya malam. Bulan itu terhalang arak-arak awan. Entah purnama atau bukan, ini sudah benar-benar malam.

"Kenapa memainkan piano tengah malam begini?" Aku melangkah mendekatinya. Dia menunduk dalam-dalam sembari memainkan jemari kotornya.

"Kapan Ayah dan Ibu akan menjenguk kita?" Mata berwarna coklat itu menatapku. Aku tau dia sangat ingin bertemu Ayah dan Ibu. Kerinduan anak kecil pada orang tuanya mungkin lebih besar ketimbang ketika dia sudah dewasa. Kla pasti masih bergantung pada Ayah dan Ibu.

"Entahlah Kla, kita jangan merepotkannya. Sudah bagus kita bisa tinggal di rumah ini." Kuusap rambutnya. Dia mengangguk tersenyum.
" Joan, apa yang kau rindukan akhir-akhir ini?" Aku terdiam mendengar pertanyaan itu. Kla, menatapku penasaran.
"Tidak ada!"
"Aku merindukan sekolah. Juga merindukan main bola di sore hari bersamamu." Suara denting piano kembali terdengar, mengalun dengan indah dan rapih. Suara itu berasal dari kenanganku, saat Ibu pertama kali memperlihatkan bagaimana jemari lentiknya menari di atas tuts.
"Maaf karena tidak bisa mengajakmu bermain bola lagi, kita tidak bisa leluasa seperti dulu. Tapi kau tetap adikku Kla."  Kla menganggukkan kepalanya. Dia pergi mungkin ke kamarnya.

  Bulan itu masih tertutup awan. Aku melirik ke luar jendela. Terngiang ucapan pak RT pagi tadi.

"Rumah ini harus dihancurkan untuk pembangunan kantor desa yang baru. Juga banyak warga yang mengeluhkan tentang bau hangus dari sini, padahalkan tidak ada pembakaran."
"Pak Tri dan Bu Tri harus pulang mengurus rumah ini. Setidaknya, izinkan kami merobohkannya. Urus kematian kedua anak dan adiknya, agar mereka tenang dan tidak mengganggu warga sekitar!"

Ah, ternyata kebiasaan Pak Rt menagih uang iuran setiap hari Minggu itu sudah  tidak dilakukan lagi. Kini dia datang untuk membicarakan hal lain. Bukan denganku, tapi dengan Mang Jali. Dia juga tidak duduk di kursi biasanya. Mereka hanya berdiri di depan gerbang. Aku baru ingat, 10 tahun lalu ada kebakaran di rumah ini. Saat Ayah dan Ibu masih di bandara setelah berpergian dari luar negeri. Ah.. Jadi kami sudah mati sekarang.

-Real, Kuningan 161019-

Kerikil Kata || CERPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang