MUSUH PENTING

74 15 15
                                    

Karya : Malik


"Aku harap kamu tidak meninggal!" Suara dari seberang telephone membuatku tersenyum miring. Batuk yang sudah menyerang sejak 4 bulan yang lalu ini aku tahan sekuat mungkin. Perkataan lawan bicaraku amat menarik. 

"Dihukum oleh Tuhan? Tentu saja kamu harus. Tapi sebelum itu, biar aku dulu yang menghukummu!" Dia berkata datar, aku yakin matanya menatap tajam apapun yang ada di depan. Harus kuakui, dia sedikit mirip denganku.

Uhukk! Uhukk!!

"Karena itu, aku mohon jangan sakit." Nada suaranya melemah. Penglihatanku kabur, perutku terasa sakit. Aku berusaha menggapai gelas di meja.

"Berobatlah, aku tahu uangmu masih tersisa banyak untuk sekedar berobat." Berhasil, aku segera meneguk isinya, menghela nafas sebentar. Satu-satunya orang di dunia ini yang menginginkan aku tetap hidup adalah dia? Gun, bocah sialan itu? Yang benar saja, ini menarik sekali!

"Tentu aku harus tetap hidup demi melihatmu berlutut memohon ampunan setelah mati-matian melawanku. Hh..." Hanya deru nafasnya yang terdengar. Sementara perutku semakin sakit.

"Semoga, kita bisa segera bertemu, Pavel."

Bbip!

Dia memutus sambungan. Aku berkeringat. Gawai yang sedang dipegang tercengkram erat.

Uhukk... Uhukk!!
Darah segar keluar begitu aku kembali batuk.

"Sekretaris Ahn!" Pintu ruanganku terbuka. Menampilkan lelaki paruh baya yang sedikit berlari tergopoh. Keringat mengalir di pelipis. Semua gelap, aku terbatuk berkali-kali. Kemudian pingsan.

Begitu membuka mata, cat putih yang mendominasi ruangan memberitahukanku bahwa aku sedang berbaring di ranjang rumah sakit.

"Anda sudah siuman Pak?" Aku mengangguk lemah atas pertanyaan basa-basi darinya. Jam di dinding menunjukkan pukul delapan, sinar matahari merambat masuk lewat jendela. Apa aku pingsan semalaman? Kepalaku berdenyut nyeri.

"Anda pingsan selama dua hari Pak. Ini silakan diminum." Sekertaris Ahn menyodorkan gelas membantuku  duduk dan minum.

"Terimakasih." Aku tersenyum padanya. Ia menundukkan kepala, lalu pergi.

Gun, terakhir kali aku mendapat telephone darinya sebelum pingsan. Dia pemuda keras kepala.

Pertama bertemu, aku mendapat sebuah telephone dari sekolah Yasa, adikku. Dia babak belur dihajar temannya. Tentu saja aku tidak percaya, seisi sekolah tahu siapa Yasa. Biasanya berandal kecil itu yang menghajar teman-temannya.

Penasaran dengan siapa yang berani mengganggu Yasa, aku datang ke sekolah dan bertemu Gun untuk yang pertama. Kondisi Yasa parah, sedang Gun dengan tenangnya menatapku. Hanya pakaian yang sedikit berantakan.

Aku menawarkan sebuah kebijakan, andai dia berlutut pada adikku semua masalah selesai. Sayang dia menolak.

"Jika aku salah, tentu aku harus dihukum dan meminta maaf. Tapi Yasa yang melakukan perundungan, aku hanya membela teman sekelasku yang dia jadikan babu. Jadi tidak ada alasan untuk berlutut." Setelah itu, tentu dia yang dikeluarkan dari sekolah.

Sebagai seseorang yang bekerja sebagai pelobi adalah urusanku untuk mengatur dan menguasai banyak hal. Aku bekerja di bidang apapun, bersih dan kotor aku lakukan dengan rapih.

Lalu Gun kembali datang menyapa setelah aku mengeluarkannya dari sekolah, setelah adikku membunuh adik dan ayahnya, setelah orang-orangku membuatnya meringkuk di penjara meski ia baru masuk SMA. Gun menyapaku, sebagai lawan.

Pertama dia melamar sebagai buruh kuli. Tidak mudah mendapat pekerjaan sebagai bekas napi. Lalu dia menjadi badan keamanan di kantorku. Tentu awalnya aku tidak tahu. Dia beralih bekerja sebagai pelayan di kedai milikku. Aku baru tahu dia sudah di keluarkan dari penjara saat tangannya menyodorkan hidangan yang aku pesan.

Entah apa maksudnya bekerja di tempatku, dia tiba-tiba mengundurkan diri dan kemudian membuka sebuah kedai di seberang jalan. Berhadapan dengan kedai utama perusahaanku tempat dulu ia menjadi pelayan.

Aku tidak merasa terusik. Apa yang bisa dilakukannya dengan kedai kecil itu. Satu perintah dari mulutku bisa menghancurkannya. Tapi kemudian dia membuka padepokan silat, menyaingi tempat belajar menembak milikku. Dan kemudian aku sadar, tujuan hidupnya adalah mencekik leherku.

"Pak, Anda kedatangan tamu..." Aku mengalihkan pandangan dari jendela, melirik sekretaris Ahn.

"Gun." Satu kata yang cukup membuat dadaku bergemuruh. Darah seperti mendidih di kepala.

"Biarkan dia masuk!" Setelah mendengar perintahku, Sekretaris Ahn menunduk, bergegas pergi.

Aku penasaran untuk apa Gun datang.

Dua menit. Dua menit setelah Sekretaris Ahn pergi, sesosok lelaki jangkung dengan rambut cepak berdiri mematung. Ada jinjingan berisi buah di tangannya. Air mukanya tidak bisa aku baca. Kami saling menatap.

"Sejak kapan?" Kalimat pertamanya ia ucapkan datar. Ia masih menatapku.

"Ini bukan apa-apa. Aku masih kuat untuk menghancurkan hidupmu." Aku tidak bergeming, balas menatapnya datar.

"Sejak kapan kamu lupa berobat?" Kalimat keduanya membuat alisku bertaut. Sedikit kaget karena Yasa bahkan tidak bertanya seperti itu.

"Kenapa hah? Kamu pikir akan mudah mengalahkanku hanya karena aku berbaring di tempat sialan ini?" Aku terkekeh sebentar, mengejeknya. Lalu tertawa keras. Tapi mendengar tawaku, Gun malah berdecak. Ia mendakti ranjang, menyimpan bawaanya.

"Kamu pernah bilang mempertahankan prinsip dengan perkataan hanyalah kecerobohan. Itu bukan prinsip tapi ego!" Ia mengatur nafasnya. Seolah mengutarakan kalimat itu ia lakukan sambil berlari.

"Aku berdiri sampai disini, mempertahankan prinsipku untuk tidak pernah memohon padamu. Ini bukan ego, iyakan?" Mata coklatnya menatapku. Aku mengalihkan pandangan dari tatapannya. Dalam dirinya, aku seperti melihat diriku sendiri.

"Makanlah yang banyak, istirahat, lakukan perintah dokter." Dia menundukkan kepala kembali, aku terbatuk.

"Kamu tahu, aku sangat bersyukur berurusan denganmu." Kekehanku kembali terdengar menanggapi perkataanya. Pembicaraan aneh macam apa ini.

"Karena melawan orang hebat, aku merasa ikut menjadi orang hebat juga. Karena terus di perhatikan orang hebat, aku merasa punya kekuatan yang sama juga. Terimakasih sudah menjadi musuhku, Pavel."  Tawaku pecah mendengar keseriusannya.

"Hh, apa aku perlu mengucapkan sama-sama?" Gun menatapku datar, ia menghela nafasnya dengan berat. Dengan membalikkan badan, ia pergi.

Aku memikirkan perjalanan hidupku selepas pemuda tadi pergi. Lalu Sekretaris Ahn masuk.

"Pak, kami sudah mendapatkan pendonor untuk ginjal Anda." Aku tersenyum senang mendengar kabar baik itu.

"Dia, adalah Gun."

Lengang.

Kemudian aku tersenyum getir. Gun memberikan ginjalnya agar aku tetap hidup, dia yang akan menghancurkannya kemudian.

"Musuh ternyata bisa sangat berarti." Sekretaris Ahn terdiam mendengar perkataanku.



-Real,  Kuningan 18Mar20-

*Cat : cerita ini terinspirasi oleh drama Itaewon Class.

Kerikil Kata || CERPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang