Karya : Malik
Namaku Rasha. Bocah SMA kelas akhir yang divonis mengidap kanker 2 tahun lalu oleh seorang dokter gendut di rumah sakit terkenal Ibu Kota. Dokter gila, dia bilang sebulan lagi aku akan meninggal. Tidakkah dia berpikir dulu sebelum berbicara?!
Lihat, keluargaku jadi cemas berlebihan terhadapku setelah mendengarnya. Ibu jadi sering menangis. Ayah jadi sering tidak pergi ke kantor. Guruku jadi tidak memberiku tugas rumah. Dan semua keluargaku yang bahkan dari luar kota, jadi menginap disini, rumahku.
Aish, seharusnya dokter gendut tadi dipanggil dukun saja bukannya dokter. Dan paling menyebalkan dari semua itu adalah, aku jadi takut. Benar, aku cemas akan umurku. Setiap harinya aku jadi sering mengurung diri, sebulan lagi aku mati. Siapa yang tidak kepikiran?
Hari ini jadwal check up. Ayah dan Ibu yang mengantar, mereka menunda semua kegiatan mereka. Sejak keluar dari rumah sampai masuk ke lobi rumah sakit, Ibu tidak berhenti menggenggam tanganku. Aku tau mereka berdua khawatir, waktuku tinggal 3 minggu lagi. Dan selain kecemasan yang besar, hanya aku anak yang mereka punya.
Perasaanku campur aduk, aku muak harus bertemu dokter itu lagi, tapi aku ingin memohon kepadanya. Tolong sembuhkan aku. Aku tidak ingin mati 3 minggu lagi. Aku ingin hidup lebih dari itu. Aku ingin Ayah dan Ibu melanjutkan kegiatan mereka seperti biasa. Dokter, aku takut.
Setelah masuk ruangannya, dokter itu tersenyum. Dia bertanya apa saja yang aku lakukan seminggu belakangan. Tentu saja menangis bodoh! Memangnya apa lagi yang bisa aku lakukan.
"Sekolah seperti biasa.." tapi malah kalimat itu yang aku ucapkan.
Lalu aku disuruh berbaring. Diperiksa detak jantung. Pernafasan. Mata. Dan beberapa hal lain. Ibu dan Ayah terus saja tersenyum melihatku diperiksa. Senyuman itu jika bisa berbicara pasti akan mengatakan "Kami ada disini Nak, jangan takut!". Aku bisa menebaknya.
Setelah memeriksa dan bertanya ini itu dia memberiku sebotol susu. Sebelumnya dia bertanya apa aku suka susu, ku jawab iya meski sebenarnya aku lebih suka kopi. Karena tidak ingin mendengar perkataannya lebih lanjut aku memilih keluar. Membiarkan hanya Ayah dan Ibu yang tahu kesehatanku. Apa gunanya, aku bahkan sudah bisa menebak format kalimat yang akan keluar dari dokter gendut itu.
"Kondisi kesehatan Rasha semakin menurun, tolong tetap awasi perkembangannya."
Aku menatap sebal susu yang sedang dipegang. Memikirkan dimana tempat aku menghembuskan nafas untuk yang terakhir. Apakah sekolah? Rumah? Rumah sakit ini? Dadaku sesak.
"Permisi Kak, kalo mau ke warung arah mana ya?" Seorang bocah perempuan tiba-tiba menghampiriku. Dia terlihat ceria meski disampingnya ada tiang infusan. Dia pasien rawat inap? Kenapa keluyuran sendirian?
"Mau jajan?" Aku bertanya sambil melihat sekeliling. Barangkali ada orang yang mencarinya.
"Iya"
"Aku juga mau makan. Ayok bareng.." dia tersenyum mengikutiku. Kasihan melihatnya harus membawa tiang infusan begitu. Jadi aku terpaksa pergi mencari makan bersamanya.Kalau dipikir-pikir lagi, kenapa pasien bisa jajan diluar? Tapi bodo amat lah. Aku tau masakan chef rumah sakit tidak begitu enak. Hambar. Setelah menemukan warungnya, aku segera memesan mie goreng. Dia hanya membeli roti. Bocah itu jadi harus menungguku beres makan mie.
"Mau susu?"
"Boleh hehe.." susu dari dokter itu aku berikan padanya. Dia tampak senang mendapatkannya.
"Namaku Cia, nama kakak siapa?" Sambil mengunyah rotinya dia bertanya.
" Rasha.."
" Nama kakak bagus." Aku hanya mengangguk. Nama bagus itu akan ditulis di batu nisan 3 minggu kedepan.
"Kakak disini berobat? Atau nganter orang?" Mie gorengku sudah selesai dimasak. Dia terus mengajakku berbincang sambil makan.
"Check up."
"Ooh, kakak sakit apa?"
"Kanker."
"Waah sama, aku juga kanker." Aku melihatnya dengan tatapan aneh. Dia terlihat bangga dengan penyakitnya."Nyebelin ya kak, kalo udah ditentuin tanggal matinya." Dia memainkan infusan di tangan. Aku tidak jadi mengunyah mie. Dia pasti sudah diberi tahu dokter tentang sisa waktunya.
"Aku seminggu lagi. Kalo kakak?" Matanya yang bening menatapku. Seminggu lagi dan dia tanpa beban memberitahukannya padaku?
"Eu tiga.""Kak, aku yakin deh minggu depan aku gak bakalan mati. Aku yakin setahun lagi lulus SMP. Terus nanti masuk SMA 01, terus kuliah, kerja, jadi artis, ketemu idola, nikah sama idola deh. Hehe" bocah dihadapanku senyum-senyum sendiri. Dia pasti berkhayal tentang idolanya. Dia masih punya waktu berkhayal meski waktunya tinggal seminggu lagi.
"Kak, kalo orang-orang terus bilang kita sebentar lagi mati, kalo kita percaya sama omongan mereka, maka otomatis otak kita bakal mengiyakan itu. Kalo otak udah memerintahkan kita mati maka seluruh tubuh kita bakalan ngikutin perintah otak. Karena itu, pikiran kakak jangan sampai terisi penuh dengan kekhawatiran tentang kematian." Tangan putih bocah itu menyentuh tanganku. Seolah dia mengerti semua kecemasan yang aku rasakan. Dia sedang memberi semangat lewat sentuhan tangannya.
"Tapi perkiraan dokter mungkin terjadi." Aku menatapnya, mataku memanas. Aku iri dengan sikap optimisnya. Tapi aku tidak bisa mengabaikan kalimat dokter gendut.
"Eum, memang. Tapi aku pikir seenggaknya kita harus ngasih harapan ke tubuh kita. Tubuh kita pasti ngerasa sakit karena kanker itu. Dan sekarang kita malah menambah beban dengan terus berpikir kita akan mati. Kasian kan kak?" Entah memang benar atau terlalu polos, bocah itu tersenyum dengan tulus."Memangnya kalo divonis mati besok kenapa? Orang-orang yang gak dapet vonis dari dokter bahkan mungkin mati hari ini. Bisa aja kan, saat mereka khawatir sama kita karena besok meninggal eh malah dia yang meninggal hari ini. Ketabrak lah, jatuh lah. Semua orang juga punya vonis matinya masing-masing. Tapi bukan dokter yang menentukan. Perkataan dokter hanya prediksi dengan kesalahan 99,9%." Roti dan susunya telah habis. Sedangkan mie gorengku sudah mengeras. Ada sedikit harapan yang tiba-tiba menjalar.
"Aku prediksi, dokter kakak akan mati besok."Candaanya membuatku sedikit tertawa. Aku membenarkan kalimatnya. Setelah memberi uang pada si ibu pedagang, dia masuk kembali ke rumah sakit. "Ketemu lagi nanti ya kak!!" Dia melambaikan tangan, tersenyum dengan manis.
Setelah bertemu dengannya aku jadi tidak khawatir lagi tentang umurku. Aku kembali berolahraga di sekolah. Kembali membantu Ayah cuci mobil, memijat kaki Ibu, dan berkonsultasi ke dokter gendut.Kesehatanku membaik. Aku tidak mati di tanggal yang sudah ditentukan. Semua keluarga yang cemas menangis bahagia. Dokter itu kagum dengan kemajuan kesehatanku. Meski harus tetap mengunjunginya setiap minggu, kenyataan aku tidak mati hari itu membuatku bahagia. Meski begitu aku tidak pernah bertemu lagi dengan Cia. Kuharap dia sehat sekarang, sepertiku. Orang dengan pemikiran positif akan hidup dengan baik. Aku percaya itu.
-Kuningan 261019-
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerikil Kata || CERPEN
Krótkie OpowiadaniaAku tidak pandai merangkum. Kau coba baca saja sendiri. Aku menyimpan kenangan tentang seseorang dalam setiap bab di buku ini. Ku perbolehkan kau menyukainya💓 @Kuningan @Bandung