Karya : Malik"Ayah apa kita bisa bertemu Ibu besok?" Aku menatap punggung Ayah yang sedang duduk di kursi meja makan. Dia tidak menggubris, asyik mengambil lauk di meja.
"Uni rindu Ibu." Rubik yang susah payah aku susun agar selaras disetiap sisinya itu kupegang erat. Sudah seminggu, aku tidak bertemu Ibu.
Suara kunyahan di mulut Ayah juga terdengar berhenti. Ia batuk dua kali, menurunkan piringnya, lalu berdiri mengambil air. Sebenarnya aku tahu, Ayah juga merindukan Ibu.
"Kau lapar Uni? Cepatlah makan dan bereskan mainanmu kalau begitu!" Meski hanya melihat kakinya karena aku menundukkan kepala, aku bisa menebak. Ayah sedang menatapku sambil memegang dahi lebarnya.
"Uni ingin kita makan malam bertiga seperti biasa." Nafas Ayah terdengar berat mendengar ucapanku. Setelah tersedak tadi, sepertinya Ayah lupa nasi yang sedang disantap belum habis. Ia berjalan mondar-mandir di dekatku.
"Dan masakan Ayah tidak enak!"
Setelah berkata seperti itu, aku bangkit berdiri. Menatap Ayah, kulit wajah di bawah matanya menghitam. Ia terlihat menyedihkan selama mengurusku.
"Kalau begitu Uni saja yang masak, kenapa harus Ayah?!" Dengan sedikit frustasi Ayah menjatuhkan badan, mencoba sejajar denganku, putri semata wayangnya.
"Ayah tidak bisa berjanji besok kita akan bertemu Ibu. Tapi Uni, Ayah yakin suatu hari nanti kita pasti bisa berkumpul seperti sebelumnya." Tangan Ayah lembut menyentuh rambutku, membuat bening air menutupi penglihatan.
"Sekarang, Uni makan dulu apa yang ada, ok? Bukannya tidak enak, Uni hanya kesal karena Ayah yang masak. Iya kan?"
Tes.
Satu tetes air keluar dari mata, turun ke pipi. Ayah tersenyum, membuat tetes-tetes yang lain menyeruak ikut keluar. Aku memeluk Ayah, ia balas mengelus rambutku.
Sudah seminggu ini Ibu pergi. Ia tidak diberikan izin untuk pulang, dan siapapun tidak diizinkan mengunjunginya. Menjadi 'tentara' tanpa senapan di rumah sakit untuk menghancurkan wabah virus mematikan. Ibu harus berpisah dengan keluarganya.
Awal bulan ini, entah bagaimana awalnya, penduduk di kota seberang tiba-tiba sakit bersamaan. Sebagian dari mereka meninggal. Padahal mereka hanya panas disusul batuk dan flu. Gejala yang tidak asing bagi siapapun. Tapi melihat mereka meninggal dan orang lain ikut terserang, pemerintah pusat menjadi risau. Tim medis dari luar kotapun dipanggil, menjaga di garda terdepan. Termasuk Ibu sebagai perawat.
Bagi anak umur 7 tahun sepertiku, virus yang tidak butuh waktu lama untuk menyedot perhatian dunia ini adalah hal yang membingungkan. Hanya saja aku paham betul, akan susah bertemu ibu saat ini.
Ayah sekali lagi membujukku makan. Aku mengangguk, mulai menyuap nasi. Ayah tersenyum juga menghabiskan makannya yang tadi tertunda.
"Uni, Ayah harus menyelesaikan pekerjaan. Kau tidurlah lebih dulu." Tangan Ayah mengambil piring kotorku, menyimpannya di tempat cucian. Aku mengangguk, berjalan ke kamar tidur.
Setelah virus bernama corona itu dinyatakan sebagai pandemi global, banyak negara di dunia menerapkan kebijakan lockdown dan sosial distancing. Aturan untuk beristirahat bagi manusia dan semua kegiatannya.
Hanya beberapa orang saja yang diperbolehkan keluar. Pekerja kantoran seperti Ayah harus tetap di rumah. Sekolahku bahkan diliburkan sebulan meski aku baru masuk 4 bulan yang lalu.
Entah itu sesuatu yang harus disyukuri atau tidak. Jika Ayah tetap pergi ke kantor, tiada siapapun yang menjagaku. Meski makanan yang Ayah buat tidak seenak masakan Ibu, setidaknya aku tidak akan kelaparan. Itu saja bagusnya aturan lockdown menurutku.
Tak lama kemudian aku tertidur memeluk foto Ibu.
Pagi hari. Selain sinar matahari, hal yang pertama aku terima adalah suara televisi yang keras. Pembawa berita cantik sudah menyapa. Seminggu ini, dalam acaranya ia hanya membicarakan tentang virus yang membuatku susah bertemu Ibu.
"Pagi ini pemirsa, pasien positif covid-19 yang meninggal dunia bertambah sebanyak 7 kasus. Dari angka kematian sebelumnya 475 menjadi 482. Pemerintah menghimbau agar..."
"Kau sudah bangun? Ayo sarapan!" Kepala Ayah menyembul dari balik pintu. Ia tersenyum hangat.
"Iya Ayah..." Kusingkap selimut, pergi ke kamar mandi dengan malas , lalu bergabung bersama Ayah di meja makan.
Seperti hari sebelumnya, nasi goreng, telur mata sapi dan dua potong sosis. Menu yang selalu sama.
"Uni, ada dua berita hari ini. Berita baik dan buruk. Kau ingin mendengar yang mana?" Sambil menyendok nasinya Ayah bertanya.
Aku menggigit sosis. "Berita baik."
"Kita akan pergi ke rumah sakit." Aku terdiam. Ayah menatapku dengan raut muka seakan bertanya 'kenapa?'. Mata Ayah tampak sembab pagi ini. Atau biasanya seperti itu? Ayah punya bentuk mata yang jelek, aku tidak bisa menebaknya.
"Ayah sakit?" Mungkin Ayah kelelahan mengurus rumah, mengurusku juga tentunya.
"Maksud Ayah kita diberi izin bertemu Ibu. Karena itu kita akan pergi ke rumah sakit."
"Hah? Serius?" Aku terlonjak senang, menatap Ayah dengan mata berbinar.
"Tentu saja serius. Tadi Ayah mendapat telepon. Sayang sekali kau masih tidur." Ayah menunjukan raut wajah sedih.
"Tidak masalah Ayah! Kapan kita akan berangkat?" Aku akan pergi ke rumah sakit, bertemu Ibu. Kita bisa berbincang langsung nanti.
"Setelah Uni menghabiskan sarapan dan membantu Ayah mencuci piring."
"Aah, beres Ayah! Uni akan bantu Ayah beresin rumah hehe..." Aku membuat tanda ok dengan tangan. Ayah mengacak rambutku, menghela nafasnya.
"Lalu apa berita buruknya?"
Ayah mengangkat tangan dari kepalaku. Aku tersenyum, acuh tidak acuh menunggu jawabannya sambil menghabiskan potongan sosis terakhir.
Kembali Ayah menghela nafas, ku tatap wajah lusuhnya. Lama sekali ia membuka mulut. Kita harus segera pergi ke rumah sakit. Aku sudah tidak sabar.
"Ibu meninggal Uni. Dia kelelahan mengurus pasien."
Ayah menatapku, aku balas menatapnya. Satu tetes air jatuh dari mata jelek Ayah. Sementara itu, mataku ikut memanas. Bibirku tersenyum, tidak percaya.
-Thefinreal, Kuningan 09Apr2020-
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerikil Kata || CERPEN
Короткий рассказAku tidak pandai merangkum. Kau coba baca saja sendiri. Aku menyimpan kenangan tentang seseorang dalam setiap bab di buku ini. Ku perbolehkan kau menyukainya💓 @Kuningan @Bandung