Kisah 5 Ribu

102 55 19
                                    

Karya : Malik

Hari ini ada acara di pusat Kota. Aku, dan semua santri di Pesantren disuruh pergi kesana. Tentu saja kami sangat gembira. Bermain diluar pondok dengan do'a restu dan titah Pak Kyai saat kita sedang dipenjara memang sangat dinantikan oleh kami, narapidananya.

Kemarin malam -selepas pengajian Ta'lim Muta'alim- Ustadz Ahmad memberikan pengumuman itu. Akan ada acara, seluruh santri diundang hadir oleh Walikota.   Kami dibebaskan bermain setelahnya, asal pulang sebelum solat Ashar.

Yang paling bahagia? Tentu saja semua orang. Santri yang baik memanfaatkan kesempatan untuk mencari ilmu baru lewat perkenalan dengan santri dari Pesantren lain. Sebagian yang kaya berencana membeli buku, baju dan makanan di Toserba. Santri yang nakal tentu saja ingin berbuat onar, bukannya ke pusat kota mereka nantinya akan pergi ke tempat yang menurutnya lebih asyik.

Sudahlah, itu tidak penting. Ini kesempatan bagus untuk merehatkan pikiran yang dibuat pusing dengan hafalan  talaran kitab. Pagi-pagi sekali kami sudah bangun tanpa disuruh, pergi ke masjid untuk Shalat Tahajud, pergi ke kelas untuk setoran hafalan, mandi dan berdandan untuk pergi ke pusat kota.

"Hey patungan dulu sini buat ongkos angkotnya!!" Suara Danu timbul tenggelam diantara para santri yang berebut naik ke angkot.

"Ma, udah patungan?" Reno yang duduk disebelahku menepuk bahu.
"Udah lah..."
"Tumben punya duit. Biasanya ngutang haha" tawa Reno disusul tawa orang lain, yang sejak tadi sudah memenuhi angkot.

"Ini juga pas-pasan Ren. Haduh, kalo mau ngutangin masih bisa kok, bakal diterima dengan senang hati! " Memang bukan hal aneh aku meminjam uang pada mereka. Mereka juga suka seperti itu.

Begitu sampai di pusat kota, kami diatur untuk berbaris sesuai Pesantren masing-masing. Di depan sana, berjejer para petinggi pemerintahan. Lalu ada upacara setelah itu.

"Selamat hari santri! Sekian." Walikota menutup pidatonya. Tak lama kemudian, pembacaan do'a. Upacara selesai. Kami dibubarkan, disuruh menikmati acara dan bermain kesana-kemari.

"Cantik ya."
"Siapa?"
"Tuh, yang pake kerudung ijo."
"Subhanallah, ngerefresh mata dan hati!"
"Hahaha, udahlah kuy liat yang silat!" Setelah tebar pesona dan melirik sana-sini, Reno mengajakku pergi.

Ada banyak pertunjukkan yang disuguhkan. Kakiku lelah karena terus berjalan. Ditambah terik matahari dan banyaknya orang yang hadir membuatku menepi, duduk disebuah bangku panjang.

Tanpa tau datang dari mana, seorang kakek tua menghampiri, tangannya memegang sebuah kaleng berisi uang kencring dan kertas yang hanya sedikit. Kaleng itu ia sodorkan padaku.

"Sodakohnya Nak, untuk anak Bapak yang lagi sakit." Kakek tua itu mengiba, mulutnya komat-kamit mengucapkan sesuatu. Aku bisa menebaknya, itu kalimat shalawat.

Aku menyodorkan tangan, tanpa uang. Uangku sisa lima ribu, dan aku sangat kehausan sekarang. Jika aku memberikan uang ini padanya, aku tidak bisa beli minuman dingin.

Melihat tanganku membuat tanda maaf, Kakek Tua itu segera pergi. Beranjak meminta ke orang lain. Aku meliriknya sekilas, seseorang memberikan uang untuknya.

"Darma! Dicariin juga, kemana aja sih?!" Reno berlari ke arahku. Tangannya membawa plastik kecil. Isinya pasti buku dan kitab. Dia memang gemar membaca.

"Anter beli kolor yuk."
"Kemana?" Aku menatapnya. Sebulan, dia beli pakaian baru  sebanyak 7 kali. Padahal orangtuanya juga mengirim pakaian.
"Noh, deket kok. Ketimbang diem disini."

Butuh waktu sebentar untuk Reno membeli pakaian baru. Tapi jarak ke toko itu benar-benar jauh. Aku kehausan. Disaat Reno sedang asyik membicarakan buku dengan pedagang yang bukunya dijajahkan di jalanan, aku pergi ke toko lain. Hendak membeli minuman.

Aku merogoh saku celana, menemukan struck pembelian baju. Berganti merogoh saku belakang. Gawat! Uang itu hilang!!

Aku sudah mengecek tas, hanya pakaian dan buku Reno yang ada disana. Tidak ada uangku di baju, celana, tas, bahkan sepatu. Bagaimana ini? Kemana uangku?

"Ma!" Tangan Reno menepuk pundakku. Membuatku menoleh. Tatapan Reno seperti bingung mendapatiku melepas sepatu di depan toko orang.

Disaat itulah, tepat dibelakang Reno, seseorang yang sedang bersandar pada mobil putih memberikan sebotol minuman pada seorang lelaki tua. Pengemis tadi! Minuman itu, minuman kesukaanku. Setelah menghabiskan minuman itu, si Kakek Tua mendapat uang warna biru yang cukup banyak dari lelaki kaya di depannya. Mulutku tanpa sadar terbuka.

"Darma?!" Aku kembali menatap Reno, lalu tersenyum kecut.

Kisah lima ribu yang menyesakkan.

-Real, Kuningan 20Des2019-

Kerikil Kata || CERPENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang