Karya : Malik
Biru. Hijau. Orange. Putih.
Itu warna kain yang biasa dipakai pedagang kaki lima untuk menutupi warungnya. Kain itu bertuliskan nama dan masakan yang mereka tawarkan.
Sudah lama Kuku memandangi warung sate berkain hijau di ujung jalan menuju rumahnya. Sembari menunggu ibunya selesai menjual rongsok yang sudah mereka cari seharian ke pengepul.
Ia mengamati bagaimana setiap harinya warung itu ramai pembeli. Aroma daging panggang yang menusuk dibawa oleh angin, hinggap di penciumannya. Perutnya berbunyi, tanda ia benar-benar sudah lapar.
"Ayo Nak, kita pulang!" Sri, ibunya sudah berdiri di dekatnya. Keranjang rongsok sudah di punggung. Kuku memandang wajah kotor ibunya, mengangguk.
"Bu, kapan kita beli sate? Kuku pengen makan sate juga.." wajah bundar Kuku yang sama kotornya menunduk. Sebenarnya ia tahu jawaban ibunya. Jawaban standar yang selalu sama.
"Nanti kalo kita udah punya uang ya"
Kuku tahu, nanti setelah kita punya uang yang ibunya maksud adalah, "Jangan mengkhayal makan sate! Beli beras aja kita masih kesusahan!"
Kuku menghembuskan nafasnya dengan berat. Untung saja dia menghirup bau sate itu banyak-banyak. Dengan sekuat tenaga dia menjaga nafasnya. Agar harum sate itu masih ada ketika ia sampai di rumahnya. Ketika ibunya menyodorkan nasi dingin dan sepotong kerupuk.
Sebenarnya Kuku bukan anak yang punya banyak keinginan untuk dituntut pada ibunya. Hanya saja, harum sate di warung pinggir jalan itu tidak bisa diremehkan. Semenjak hari itu, Kuku uring-uringan bekerja.
Bu Sri yang menangkap perubahan pada anak semata wayangnya hanya bisa bersedih. Ia menangis setiap malamnya, setelah memastikan Kuku mendengkur halus.
Ia meratapi nasibnya yang malang. Lelaki yang memperkosanya 8 tahun lalu itu entah ada dimana sekarang. Setelah diusir keluarganya dari kampung, Bu Sri memantapkan hati untuk tinggal di Ibu Kota. Menjadi pemulung.
Tentu tangan Tuhan tetap terulur untuknya. Di Ibu Kota, dirinya tinggal di sebuah rumah milik seorang kaya raya. Rumah kecil yang sudah lama tidak diurus itu hendak dirobohkan.
Tapi pemiliknya mengurungkan niat. Setelah ia melihat seorang wanita yang tengah hamil tua tertidur di berandanya. Rumah itu ia serahkan pada Bu Sri untuk di tempati. Hartanya dimana-mana. Ia tidak peduli dengan rumah butut seperti itu.
Malam itu Kuku kembali menunggu ibunya menjual rongsok. Ia duduk di trotoar jalan. Memperhatikan orang-orang yang sibuk melepas sate dari tusukan. Mulut Kuku berair, sate itu tampak sedap betul.
Bu Sri datang, menepuk bahu anaknya. Ia tersenyum hangat, ikut berjongkok.
"Kuku pengen sate?" Dengan lembut Bu Sri mengusap rambut Kuku yang merah terpanggang matahari.
"Em...." Kuku mengangguk.
"Tapi kerupuk dari Pak Haji juga enak kok Bu" lanjut Kuku sambil tersenyum menatap ibunya. Ia harus sadar diri, sate itu terlalu mahal untuk kalangannya."Oh ya? Ibu tadinya mau beliin Kuku sate. Tapi kalau Kuku lebih suka kerupuk yaudah deh gak jadi!"
"Eh jangan dong Bu!" Melihat ibunya bersiap berdiri, Kuku segera memegang lengannya. Bu Sri mengerlingkan mata, menggoda anaknya.
"Kalau Ibu udah niat gak boleh dibatalin hehe" Kuku tersenyum, menampilkan deretan gigi kecilnya.
"Besok kita beli yah!" Bu Sri menatap anaknya. Kuku sudah besar sekarang. Dia pasti menderita karena punya ibu seperti dirinya."Serius?!" Kuku berseru senang.
"Iya Nak. Kuku pengen berapa tusuk?"
"10!" Sembari mengangkat tangannya Kuku menjawab antusias. Bu Sri mengusap rambut anaknya sekali lagi. Ia lalu mengangguk."Kita beli 10 tusuk besok. Sekarang kita pulang dulu. Oke?" Setelah Kuku mengangguk, Bu Sri menuntun tangan anaknya. Sepanjang jalan nyanyian riang dari mulut anaknya tidak pernah berhenti terdengar.
Bu Sri mengusap air matanya diam-diam. Dia meneguhkan hati membuatkan Kuku sate besok.
Keesokan malamnya, saat Ibu Kota diguyur hujan kecil Kuku sudah duduk bersila di hadapan piringnya.
Mereka langsung pulang setelah mencari rongsok. Hujan mencegah mereka menjual rongsok ke pengepul.
"Biar Kuku aja yang beli Bu.." Kuku melihat ibunya yang sedang berdiri menatap jendela. Ia masih ingat janji Ibunya kemarin, beli sate sepuluh tusuk hari ini.
Bu Sri terkesiap. Diliriknya Kuku yang sedang menatapnya.
"Biar Ibu aja. Kuku mending beresin pakaian yah!"Mendengar itu Kuku langsung pergi. Ia sudah tau, uang Ibu pasti belum cukup. Tak apa, kerupuk Pak Haji juga enak.
Saking lamanya menunggu sate itu, setelah merapikan pakaian Kuku memilih tidur. Nasi dinginnya semakin dingin karena didiamkan terlalu lama.
Ketika alam bawah sadarnya bersiap menampilkan mimpi indah, tangan ibunya membangunkan. Kuku mengucek mata. Jarum pendek pada jam di dinding menunjuk angka 10.
"Bangun Nak, satenya udah ada. Ayo makan!" Ucap Bu Sri. Mata Kuku langsung berbinar.
Ia bergegas pergi mencuci muka, meninggalkan ibunya di kamar. Lalu bersemangat duduk, menatap piring di depannya.
Piring nasinya kini sudah punya teman. Ada piring lain di sebelahnya, berisi daging yang ditusuk kecil-kecil. Ada lebih dari sepuluh tusuk.
"Wah banyak banget Bu!" Tanpa memperdulikan tanggapan ibunya, Kuku sudah menyuap nasi. Menyusul sate pertamanya.
Bu Sri tersenyum. Air mata hangatnya mengalir di pipi. Sejak tadi, ia menyembunyikan tangan kirinya di punggung. Sejak tadi, sejak ia memotongnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerikil Kata || CERPEN
ContoAku tidak pandai merangkum. Kau coba baca saja sendiri. Aku menyimpan kenangan tentang seseorang dalam setiap bab di buku ini. Ku perbolehkan kau menyukainya💓 @Kuningan @Bandung